Aksi Nyata Budaya Positif
Oleh: Muhammad Saleh, S.Kom
SMP Zainul Hasan 2 Condong
CGP Angkatan 4 Kabupaten Probolinggo
2.1 Perubahan Paradigma
Untuk membangun budaya
yang positif, sekolah perlu menyediakan lingkungan yang positif, aman, dan
nyaman agar murid-murid mampu berpikir, bertindak, dan mencipta dengan merdeka,
mandiri, dan bertanggung jawab. Salah satu strategi yang perlu ditinjau ulang adalah
bentuk disiplin yang dijalankan selama ini di sekolah-sekolah kita. Pembahasan
disiplin kali ini akan meninjau teori yang dikemukakan oleh Diane Gossen.
Sebelum kita gali lebih lanjut tentang teori Disiplin Restitusi dari Diane
Gossen, mari menyamakan model berpikir kita tentang disiplin itu sendiri.
Lazimnya disiplin dikaitkan dengan kontrol. Dalam hal ini kontrol guru dalam
menghadapi murid.
Di bawah ini adalah
paparan Dr. William Glasser dalam Control Theory, untuk meluruskan berapa miskonsepsi tentang kontrol:
•
|
Ilusi guru mengontrol murid.
Pada dasarnya kita tidak dapat memaksa murid untuk
berbuat sesuatu jikalau murid tersebut memilih
untuk tidak melakukannya. Walaupun tampaknya kita sedang mengontrol perilaku
murid tersebut, hal ini karena murid tersebut sedang mengizinkan dirinya
dikontrol. Saat itu bentuk kontrol guru menjadi kebutuhan dasar yang dipilih
murid tersebut. Teori Kontrol menyatakan bahwa semua perilaku memiliki
tujuan, bahkan terhadap perilaku yang tidak disukai.
|
•
|
Ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat.
Penguatan positif atau bujukan adalah bentuk-bentuk
kontrol. Segala usaha untuk mempengaruhi murid agar mengulangi suatu perilaku
tertentu, adalah suatu usaha untuk mengontrol murid tersebut. Dalam jangka
waktu tertentu, kemungkinan murid tersebut akan menyadarinya dan mencoba
untuk menolak bujukan kita, atau bisa jadi murid tersebut menjadi tergantung
pada pendapat sang guru untuk berusaha.
|
•
|
Ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan
karakter.
Menggunakan kritik dan rasa bersalah untuk
mengontrol murid menuju pada identitas gagal. Mereka belajar untuk merasa
buruk tentang diri mereka. Mereka mengembangkan dialog diri yang negatif.
Kadang kala sulit bagi guru untuk mengidentifikasi bahwa mereka melakukan
perilaku ini, karena seringkali guru cukup menggunakan suara halus untuk
menyampaikan pesan negatif.
|
•
|
Ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak
untuk memaksa.
Banyak orang dewasa yang percaya bahwa mereka
memiliki tanggung jawab untuk membuat murid-murid berbuat hal-hal tertentu.
Apapun yang dilakukan dapat diterima, selama ada sebuah kemajuan berdasarkan
sebuah pengukuran kinerja. Pada saat itu pula, orang dewasa akan menyadari
bahwa perilaku memaksa tidak akan efektif untuk jangka waktu panjang, dan
sebuah hubungan permusuhan akan terbentuk.
|
Bagaimana seseorang
bisa berubah dari paradigma Stimulus-Respon kepada pendekatan teori Kontrol?
Stephen R. Covey (Principle-Centered
Leadership,
1991) mengatakan bahwa,
“..bila kita ingin
membuat kemajuan perlahan, sedikit-sedikit, ubahlah sikap atau perilaku Anda.
Namun bila kita ingin memperbaiki cara-cara utama kita, maka kita perlu
mengubah kerangka acuan kita. Ubahlah bagaimana Anda melihat dunia, bagaimana
Anda berpikir tentang manusia, ubahlah paradigma Anda, skema pemahaman dan
penjelasan aspek-aspek tertentu tentang realitas”.
Stimulus-Respon lawan
Teori Kontrol: Pandangan tentang Dunia
Stimulus-Respon tentang Dunia
|
Teori Kontrol tentang Dunia
|
Realitas (kebutuhan) kita sama.
|
Realitas (kebutuhan) kita berbeda.
|
Semua orang melihat hal yang sama.
|
Setiap
orang memiliki gambaran berbeda.
|
Kita mencoba mengubah orang agar
berpandangan sama dengan kita.
|
Kita
berusaha memahami pandangan orang lain tentang dunia.
|
Perilaku buruk dilihat sebagai suatu
kesalahan
|
Semua
perilaku memiliki tujuan.
|
Orang lain bisa mengontrol saya.
|
Hanya
Anda yang bisa mengontrol diri Anda.
|
Saya bisa mengontrol orang lain.
|
Anda
tidak bisa mengontrol orang lain.
|
Pemaksaan ada pada saat bujukan gagal.
|
Kolaborasi
dan konsensus menciptakan pilihan-pilihan baru.
|
Model Berpikir Menang/Kalah
|
Model
Berpikir Menang-menang.
|
2.2: Konsep Disiplin Positif dan
Motivasi
Pertanyaan Pemantik:
Bagaimana
cara membuat murid disiplin? Siapakah yang bisa mendisiplinkan murid? Apakah
guru yang bisa mendisiplinkan murid? Atau Kepala Sekolah? Atau orangtua murid?
Atau murid itu sendiri? Mengapa?
Kebanyakan guru, sangat tertarik dengan topik
pembahasan tentang disiplin. Mereka berpendapat bahwa kalau saja anak-anak bisa
disiplin, pasti mereka akan bisa belajar. Para guru juga berpendapat bahwa
mendisiplinkan anak-anak adalah bagian yang paling menantang dari pekerjaan
mereka.
Marilah kita baca artikel di bawah ini:
Makna Kata Disiplin
Ketika mendengar kata “disiplin”, apa
yang terbayang di benak Anda? Apa yang terlintas di pikiran
Anda? Kebanyakan orang akan menghubungkan kata disiplin dengan tata tertib,
teratur, dan kepatuhan pada peraturan.
Kata “disiplin”
juga sering dihubungkan dengan hukuman, padahal itu sungguh berbeda,
karena belajar tentang disiplin positif tidak harus dengan memberi hukuman,
justru itu adalah salah satu alternatif terakhir dan kalau perlu tidak
digunakan sama sekali.
Dalam budaya kita, makna kata
‘disiplin’ dimaknai menjadi sesuatu yang dilakukan seseorang pada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan. Kita
cenderung menghubungkan kata ‘disiplin’ dengan ketidaknyamanan.
Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara menyatakan
bahwa
“dimana ada
kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu
bersifat ”self discipline” yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan
sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap
melakukan self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan
peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka.
(Ki Hajar
Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka, Cetakan Kelima, 2013, Halaman 470)
Ki Hajar menyatakan bahwa untuk mencapai kemerdekaan atau dalam konteks pendidikan kita saat ini,
untuk menciptakan murid yang merdeka, syarat utamanya adalah harus ada
disiplin yang kuat. Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri, yang
memiliki motivasi internal. Jika kita tidak memiliki motivasi internal, maka
kita memerlukan pihak lain untuk mendisiplinkan kita atau motivasi eksternal,
karena berasal dari luar, bukan dari dalam diri kita sendiri.
Adapun
definisi kata ‘merdeka’ menurut Ki Hajar adalah:
mardika iku
jarwanya, nora mung lepasing pangreh, nging uga kuwat kuwasa amandiri
priyangga (merdeka itu artinya; tidak hanya terlepas dari perintah; akan
tetapi juga cakap buat memerintah diri
sendiri)
Pemikiran Ki Hajar ini sejalan dengan pandangan Diane Gossen dalam
bukunya Restructuring School Discipline, 2001. Diane menyatakan bahwa arti dari kata
disiplin berasal dari bahasa Latin, ‘disciplina’,
yang artinya ‘belajar’. Kata ‘discipline’ juga
berasal dari akar kata yang sama dengan ‘disciple’
atau murid/pengikut. Untuk menjadi seorang murid,
atau pengikut, seseorang harus paham betul alasan mengapa mereka mengikuti
suatu aliran atau ajaran tertentu, sehingga motivasi yang terbangun adalah
motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.
Diane juga menyatakan bahwa arti asli dari kata disiplin ini juga
berkonotasi dengan disiplin diri dari murid-murid Socrates dan Plato. Disiplin diri
dapat membuat seseorang menggali potensinya
menuju kepada sebuah tujuan, sesuatu yang dihargai dan bermakna. Dengan kata lain, disiplin diri juga
mempelajari bagaimana cara kita mengontrol diri, dan bagaimana menguasai diri untuk memilih tindakan
yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai.
|
Dengan kata lain, seseorang yang memiliki disiplin diri berarti mereka
bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka
mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal. Dalam hal
ini Ki Hajar menyatakan;
“...pertanggungjawaban
atau verantwoordelijkheld itulah selalu menjadi sisihannya hak atau kewajiban
dari seseorang yang pegang kekuasaan atau pimpinan dalam umumnya. Adapun
artinya tidak lain ialah orang tadi harus mempertanggungjawabkan dirinya
serta tertibnya laku diri dari segala hak dan kewajibannya.
(Ki Hajar
Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap
Merdeka, Cetakan Kelima, 2013, Halaman 469)
Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan anak-anak yang memiliki
disiplin diri sehingga mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada
nilai-nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik, bukan
ekstrinsik.
Referensi:
Restitution: Restructuring School Discipline, Diane
Chelsom Gossen, 2001, New View Publications, North Canada
Ki Hajar Dewantara;Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan,
Sikap Merdeka,2013,
UST-Press bekerjasama dengan Majelis Luhur
Tamansiswa
|
Indah sekali bukan pemikiran-pemikiran tentang konsep
disiplin di atas. Mari kita bayangkan alangkah indahnya ketika tercipta
masyarakat yang bisa saling belajar, yang saling merasa terikat dan
terhubungkan satu sama lain; karena masyarakat seperti itu akan mengambil tanggung
jawab untuk pembelajarannya, senantiasa selalu berusaha untuk menjadi lebih
baik dari sebelumnya. Itulah tujuan dari
disiplin diri.
Mari kita tanyakan ke diri kita sendiri, bagaimana
kita berperilaku? Mengapa kita melakukan segala sesuatu? Apakah kita melakukan
sesuatu karena adanya dorongan dari lingkungan, atau ada dorongan yang
lain? Terkadang kita melakukan sesuatu
karena kita menghindari rasa sakit atau ketidaknyamanan, Terkadang kita juga
melakukan sesuatu untuk mendapatkan apa yang kita mau.
Bagaimana
menurut Anda? Pernahkah Anda melakukan sesuatu untuk mendapat senyuman dari
orang lain? Untuk mendapat hadiah? Atau untuk mendapatkan uang? Apa lagi
kira-kira alasan orang melakukan sesuatu? Untuk mengetahui lebih jauh lagi
mengenai motivasi manusia, mari kita
baca artikel ini:
3 Motivasi Perilaku Manusia
Diane Gossen
dalam bukunya Restructuring School Discipline, menyatakan
ada 3 alasan motivasi perilaku manusia:
1. Untuk menghindari
ketidaknyamanan atau hukuman
Ini adalah tingkat terendah
dari motivasi perilaku manusia. Biasanya orang yang motivasi perilakunya
untuk menghindari hukuman atau ketidaknyamanan, akan bertanya, apa yang akan
terjadi apabila saya tidak melakukannya? Sebenarnya mereka sedang
menghindari permasalahan yang mungkin muncul dan berpengaruh pada mereka
secara fisik, psikologis, maupun tidak terpenuhinya kebutuhan mereka, bila
mereka tidak melakukan tindakan tersebut.
2. Untuk
mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Satu tingkat di atas
motivasi yang pertama, disini orang berperilaku untuk mendapatkan imbalan
atau penghargaan dari orang lain. Orang dengan motivasi ini akan bertanya, apa yang akan
saya dapatkan apabila saya melakukannya? Mereka melakukan sebuah
tindakan untuk mendapatkan pujian dari orang lain yang menurut mereka penting
dan mereka letakkan dalam dunia berkualitas mereka. Mereka juga melakukan
sesuatu untuk mendapatkan hadiah, pengakuan, atau imbalan.
3. Untuk menjadi
orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai
yang mereka percaya
Orang dengan motivasi ini
akan bertanya, akan menjadi orang yang seperti apa bila saya
melakukannya?. Mereka melakukan sesuatu karena nilai-nilai yang
mereka yakini dan hargai, dan mereka melakukannya karena mereka ingin menjadi
orang yang melakukan nilai-nilai yang mereka yakini tersebut. Ini adalah
motivasi yang akan membuat seseorang memiliki disiplin positif karena
motivasi berperilakunya bersifat internal, bukan eksternal.
Pernahkan Anda berada dalam
sebuah situasi dimana anda sengaja melakukan sesuatu yang menyakitkan bagi
anda, bahkan bertabrakan dengan penghargaan dari orang lain? Mengapa anda
|
tetap memilih melakukannya padahal anda
tahu akibatnya akan menyakitkan, anda mungkin akan dikecam secara sosial,
bahkan ada kerugian secara finansial? Apa prinsip-prinsip yang anda perjuangkan
dan anda lindungi? Saat itu, anda sedang
menjadi
Tujuan dari disiplin positif adalah menanamkan motivasi
yang ketiga pada murid-murid kita yaitu untuk menjadi orang yang mereka
inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya.
Ketika murid-murid kita memiliki motivasi tersebut, mereka telah memiliki
motivasi intrinsik yang berdampak jangka panjang, motivasi yang tidak akan
terpengaruh pada adanya hukuman atau hadiah. Mereka akan tetap berperilaku baik
dan berlandaskan nilai-nilai kebajikan karena mereka ingin menjadi orang yang
menjunjung tinggi nilai-nilai yang mereka hargai.
Pertanyaannya
sekarang adalah bagaimana cara kita sebagai guru untuk menanamkan disiplin
positif yang positif ini kepada murid-murid kita?
2.3: Keyakinan Kelas
Pertanyaan Pemantik:
•
Mengapa Keyakinan Kelas, mengapa tidak
peraturan kelas saja?
•
Mengapa adanya Keyakinan Kelas penting
untuk terbentuknya sebuah budaya positif?
•
Bagaimana mewujudkan sebuah Keyakinan
Kelas yang efektif?
Setiap tindakan atau
perilaku yang kita lakukan di dalam kelas dapat menentukan terciptanya sebuah
lingkungan positif. Perilaku warga kelas tersebut menjadi sebuah kebiasaan,
yang akhirnya membentuk sebuah budaya positif. Untuk terbentuknya budaya
positif pertama-tama perlu diciptakan dan disepakati keyakinan-keyakinan atau
prinsip-prinsip dasar bersama di antara para warga kelas. Hal ini berkaitan
dengan modul 1.2 dan modul 1.3 yang membahas tentang nilai-nilai kebajikan dan
visi sebuah sekolah yang perlu ada untuk menentukan arah tujuan dari sebuah
institusi/sekolah. Penyatuan pemikiran untuk mendapatkan nilai-nilai kebajikan
serta visi sekolah tersebut kemudian diturunkan di kelas-kelas menjadi
keyakinan kelas yang disepakati bersama.
Mengapa
keyakinan kelas, mengapa tidak peraturan kelas saja?
Pertanyaan
berikut adalah, “Mengapa kita memiliki peraturan tentang penggunaan helm pada
saat mengendarai kendaraan roda dua/motor?” Kemungkinan jawaban Anda adalah
untuk ‘keselamatan’. Pertanyaan berikut adalah, “Mengapa kita memiliki
peraturan tentang penggunaan masker dan mencuci tangan setiap saat?” Mungkin
jawaban Anda adalah “untuk kesehatan dan/atau keselamatan”.
Nilai-nilai keselamatan
atau kesehatan inilah yang kita sebut sebagai suatu ‘keyakinan’, yaitu nilai-nilai
kebajikan atau prinsip-prinsip universal yang disepakati bersama secara
universal, lepas dari latar belakang suku, negara, bahasa maupun agama. Menurut
Gossen (1998), suatu keyakinan akan lebih memotivasi seseorang dari dalam, atau
memotivasi secara intrinsik. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat
untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian
peraturan. Murid-murid pun demikian, mereka perlu mendengarkan dan mendalami
tentang suatu keyakinan, daripada hanya mendengarkan peraturan-peraturan yang
mengatur mereka harus berlaku begini atau begitu.
Pembentukan Keyakinan Kelas:
•
Keyakinan
kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan, yang lebih rinci dan
konkrit.
•
Keyakinan kelas berupa
pernyataan-pernyataan universal.
•
Pernyataan keyakinan kelas senantiasa
dibuat dalam bentuk positif.
•
Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu
banyak, sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas.
•
Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang
dapat diterapkan di lingkungan tersebut.
•
Semua warga kelas hendaknya ikut
berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas lewat kegiatan curah pendapat.
•
Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas
dari waktu ke waktu.
2.4 : Pemenuhan Kebutuhan Dasar
Mari kita melihat sebuah konsep 5
Kebutuhan Dasar Manusia menurut Dr. William Glasser dalam “Choice Theory”.
5
Kebutuhan Dasar Manusia
Seluruh tindakan manusia memiliki
tujuan tertentu. Semua yang kita lakukan adalah usaha terbaik kita untuk
mendapatkan apa yang kita inginkan. Ketika kita mendapatkan apa yang kita
inginkan, sebetulnya saat itu kita sedang memenuhi satu atau lebih dari satu
kebutuhan dasar kita, yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), cinta
dan kasih sayang (love and belonging),
kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan kekuasaan (power). Ketika seorang murid melakukan
suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar
peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar
mereka. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat satu persatu kelima kebutuhan
dasar ini.
Kebutuhan
bertahan hidup (survival)
Kebutuhan
bertahan hidup (survival) adalah
kebutuhan yang bersifat fisiologis untuk bertahan hidup misalnya kesehatan,
rumah, dan makanan. Seks sebagai bagian dari proses reproduksi termasuk
kebutuhan untuk tetap bertahan hidup. Komponen psikologis pada kebutuhan ini
meliputi kebutuhan akan perasaan aman. Dalam kasus Doni di atas, apabila
jawaban Doni ketika ditanya oleh Ibu Ambar adalah karena ia lapar dan
orangtuanya tidak membawakannya bekal makan siang, maka kebutuhan dasar yang
sedang berusaha dipenuhi oleh Doni, adalah kebutuhan untuk bertahan hidup
(survival).
Cinta dan kasih sayang (Kebutuhan untuk Diterima)
Kebutuhan
ini dan tiga kebutuhan berikutnya adalah kebutuhan psikologis. Kebutuhan
untuk mencintai dan memiliki meliputi kebutuhan akan hubungan dan koneksi
sosial, kebutuhan untuk memberi dan menerima kasih sayang dan kebutuhan untuk
merasa menjadi bagian dari suatu kelompok. Kebutuhan ini juga meliputi
keinginan untuk tetap terhubung dengan orang lain, seperti teman, keluarga,
pasangan hidup, teman kerja, binatang peliharaan, dan kelompok dimana kita
tergabung.
Anak-anak
yang memiliki kebutuhan dasar cinta dan kasih sayang yang tinggi biasanya
ingin disukai dan diterima oleh lingkungannya. Mereka juga akrab dengan orang
tuanya. Biasanya mereka belajar karena suka pada gurunya. Bagi mereka, teman
sebaya sangatlah penting. Mereka juga biasanya suka bekerja dalam kelompok.
Dalam kasus
diatas, apabila Doni menjawab bahwa alasannya mengambil bekal temannya karena
dia merasa senang temannya jadi memperhatikan dia. Ketika temannya melaporkan
tindakannya itu pada gurunya, dan gurunya memberitahu orang tuanya, sehingga
orang tuanya jadi memperhatikan dia, maka kebutuhan dasar yang sedang
dipenuhi Doni adalah kebutuhan akan cinta dan kasih sayang.
Penguasaan (Kebutuhan Pengakuan atas Kemampuan)
Kebutuhan
ini berhubungan dengan kekuatan untuk mencapai sesuatu, menjadi kompeten,
menjadi terampil, diakui atas prestasi dan keterampilan kita, didengarkan dan
memiliki rasa harga diri. Kebutuhan ini meliputi keinginan untuk dianggap
berharga, bisa membuat perbedaan, bisa membuat pencapaian, kompeten, diakui,
dihormati. Ini meliputi self esteem, dan keinginan untuk meninggalkan
pengaruh.
Anak-anak yang memiliki kebutuhan
dasar akan kekuasaan yang tinggi biasanya selalu ingin menjadi pemimpin,
mereka juga suka mengamati sebelum mencoba hal baru dan merasa kecewa bila
melakukan kesalahan. Mereka juga biasanya rapi dan sistematik dan selalu
Ingin mencapai yang terbaik
|
Dalam kasus diatas, apabila jawaban
Doni adalah dia merasa hebat karena temannya jadi takut dengan dia dan menuruti
keinginannya, maka sebetulnya Doni sedang berusaha memenuhi kebutuhan dasarnya
akan kekuasaan.
Kebebasan (Kebutuhan Akan Pilihan)
Kebutuhan untuk bebas adalah
kebutuhan akan kemandirian, otonomi, memiliki pilihan dan mampu mengendalikan
arah hidup seseorang. Anakanak dengan kebutuhan kebebasan yang tinggi
menginginkan pilihan, mereka perlu banyak bergerak, suka mencoba-coba, tidak
terlalu terpengaruh orang lain dan senang mencoba hal baru dan menarik.
Bila jawaban Doni dalam kasus diatas
adalah bahwa dia merasa bosan dengan bekal makanan yang dibawakan ibunya dari
rumah, karena ibunya selalu membawakan bekal yang sama, oleh karena itu dia
ingin mencoba makanan teman-temannya yang beraneka ragam, maka Doni sedang
berusaha memenuhi kebutuhannya akan kebebasan/freedom.
Kesenangan (Kebutuhan untuk merasa
senang)
Kebutuhan akan kesenangan adalah
kebutuhan untuk mencari kesenangan, bermain, dan tertawa. Bayangkan hidup tanpa
kenikmatan apa pun, betapa menyedihkan. Glasser menghubungkan kebutuhan akan
kesenangan dengan belajar. Semua hewan dengan tingkat intelegensi tinggi
(anjing, lumba-lumba, primata, dll) bermain. Saat mereka bermain, mereka
mempelajari keterampilan hidup yang penting. Manusia tidak berbeda. Anak-anak dengan kebutuhan dasar kesenangan yang tinggi
biasanya Ingin menikmati apa yang dilakukan. Mereka juga konsentrasi tinggi
saat mengerjakan hal yang disenangi. Mereka suka permainan dan suka mengoleksi
barang, suka bergurau, suka melucu dan juga menggemaskan, bahkan saat
bertingkah laku buruk.
Dalam kasus diatas, bila Doni
menjawab bahwa ia melakukannya karena iseng saja dan ia menikmati ekspresi
wajah teman-temannya yang kesal karena diambil makanannya dan menurut dia,
ekspresi teman-temannya itu lucu. Maka berarti Doni sedang berusaha memenuhi
kebutuhannya akan kesenangan.
Disarikan dari berbagai sumber
Semua orang senantiasa berusaha untuk
memenuhi kebutuhannya dengan berbagai cara. Bila mereka tidak bisa mendapatkan
kebutuhannya dengan cara yang positif, mereka akan mencoba mendapatkannya
dengan cara yang negatif. Seorang murid yang tidak begitu berhasil secara akademik
mungkin kebutuhannya akan kekuasaan tidak terpenuhi di sekolah. Oleh karena
itu, mungkin dia akan mencoba untuk memenuhi kebutuhan kekuasaannya, dengan
mencoba mengatur orang lain di lapangan bermain, atau bahkan menyakiti mereka
secara fisik. Sebagai guru, kita dapat melibatkannya dalam kegiatan yang memberi peluang
murid tersebut membuat pencapaian yang berarti.
Seorang yang tidak merasa diterima
oleh teman-temannya, kebutuhannya akan cinta dan kasih sayang tidak terpenuhi,
oleh karena itu dia mungkin akan memiliki satu teman dan memisahkan diri yang
lain. Sebagai guru, kita bisa membangun hubungan
yang bisa membangun kepercayaan dan keintiman dengan anak ini.
Bagaimana Bapak Ibu, apakah sekarang
sudah paham perbedaan dari kelima kebutuhan dasar? Glasser menyatakan bahwa kapasitas untuk
berubah ada di dalam diri kita. Jika kita dapat mengidentifikasi kebutuhan apa
yang mendorong perilaku kita, maka perubahan perilaku positif dapat dimulai
dengan mencari solusi untuk memenuhi kebutuhan tertentu dengan cara yang
positif daripada cara yang negatif.
Setelah belajar tentang 3 Motivasi
Perilaku Manusia dan 5 Kebutuhan Dasar Manusia untuk memahami alasan-alasan
yang mendasari tindakan manusia, mari kita belajar 1 konsep lagi yaitu tentang
Dunia Berkualitas dengan membaca deskripsi di bawah ini:
Dunia Berkualitas
Dunia Berkualitas Anda adalah tempat khusus dalam pikiran Anda, tempat Anda menyimpan gambaran representasi dari semua yang
Anda inginkan: bisa berisi orang-orang, hal-hal dan apa saja yang
terbaik dalam hidup Anda dan membuat Anda merasa bahagia dan terpenuhi
kebutuhan dasar Anda. Dr. William Glasser menyebutnya seperti semacam, album
foto sehingga isinya tidak akan terlalu banyak, hanya akan terdiri dari
beberapa hal saja yang sangat signifikan dan benarbenar terbaik dalam hidup
Anda yang membuat hidup Anda menjadi lebih bermakna. Kebutuhan dasar itu
bersifat lebih umum dan universal, sedangkan dunia berkualitas lebih unik dan
personal.
|
Orang,
tempat, benda, nilai-nilai, dan kepercayaan yang penting bagi Anda akan
termasuk di sana. Untuk masuk ke Dunia Kualitas, syaratnya adalah bahwa sesuatu
itu harus terasa sangat baik bagi Anda dan memenuhi setidaknya satu atau lebih
kebutuhan dasar Anda. Dalam menentukan segala sesuatu yang masuk dalam dunia
berkualitas, tidak perlu kita terlalu mempertimbangkan standar masyarakat
tentang apa saja yang penting dan yang tidak. Gambaran Dunia Berkualitas adalah
unik dan spesifik untuk setiap orang. Jika Anda bisa hidup di Dunia Kualitas
Anda, hidup akan sempurna buat Anda, tapi sayangnya, Anda tidak bisa tinggal di
sana.
Murid kita
juga mempunyai gambaran dunia berkualitas mereka. Tentunya sebagai guru kita
ingin mereka memasukkan hal-hal yang bermakna dan nilai-nilai kebajikan yang
hakiki ke dalam dunia berkualitas mereka. Bila guru dapat membangun interaksi
yang memberdayakan dan memerdekakan murid, maka murid akan meletakkan dirinya
sendiri sebagai individu yang positif dalam dunia berkualitas karena mereka
menghargai nilai-nilai kebajikan.
Disarikan dari Berbagai Sumber
2.5: Lima Posisi
Kontrol
Berikut ini akan disampaikan suatu model disiplin yang
berpusat pada murid, yang dikembangkan oleh
Diane Gossen dengan pendekatan Restitusi, yang disebut dengan 5 Posisi Kontrol.
Lima
Posisi Kontrol:
Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School
Discipline (1998) mengemukakan bahwa guru perlu meninjau
kembali penerapan disiplin di dalam ruang-ruang kelas kita selama ini. Apakah
telah efektif, apakah berpusat memerdekakan dan memandirikan murid, bagaimana
dan mengapa? Melalui serangkaian riset dan bersandar pada teori Kontrol Dr.
William Glasser, Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan
seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol. Kelima posisi
kontrol tersebut adalah Penghukum, Pembuat Orang Merasa Bersalah, Teman,
Monitor (Pemantau) dan Manajer. Mari kita tinjau lebih dalam kelima posisi
kontrol ini:
Penghukum:
Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal. Orang-orang
yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa sekolah
memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih dalam
lagi. Guru-guru yang menerapkan posisi penghukum akan berkata: “Patuhi aturan saya, atau awas!”
“Kamu selalu
saja salah!”
“Selalu,
pasti selalu yang terakhir selesai”
Guru seperti ini senantiasa percaya hanya ada satu
cara agar pembelajaran bisa berhasil, yaitu cara dia.
Pembuat
Orang Merasa Bersalah: pada posisi ini biasanya guru akan
bersuara lebih lembut. Pembuat orang merasa bersalah akan menggunakan
keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah
diri. Kata-kata yang keluar dengan lembut akan seperti:
“Ibu sangat
kecewa sekali dengan kamu”
“Berapa kali
Bapak harus memberitahu kamu ya?”
“Gimana coba,
kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat begini?”
Di posisi ini murid akan memiliki penilaian diri yang
buruk tentang diri mereka, murid merasa tidak berharga, dan telah
mengecewakan orang-orang disayanginya.
Teman:
Guru pada posisi ini tidak akan
menyakiti murid, namun akan tetap berupaya mengontrol murid melalui
persuasi. Posisi teman pada guru bisa negatif ataupun positif. Positif di sini
berupa hubungan baik yang terjalin antara guru dan murid. Guru di posisi teman
menggunakan hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi seseorang. Mereka akan
berkata:
“Ayo
bantulah, demi bapak ya?”
“Ayo ingat
tidak bantuan Bapak selama ini?”
“Ya sudah
kali ini tidak apa-apa. Nanti Ibu bantu bereskan”.
Hal negatif dari posisi teman adalah bila suatu saat
guru tersebut tidak membantu
maka murid akan kecewa dan berkata, “Saya pikir bapak/Ibu teman saya”. Murid merasa dikecewakan,
dan tidak mau lagi berusaha, Hal lain yang mungkin timbul
adalah murid hanya akan bertindak untuk guru tertentu, dan tidak untuk guru
lainnya. Murid akan tergantung pada guru tersebut.
Monitor/Pemantau:
Memonitor berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita bertanggung jawab
atas perilaku orang-orang yang kita awasi. Posisi pemantau berdasarkan pada
peraturan-peraturan dan konsekuensi. Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi,
kita dapat memisahkan hubungan pribadi kita dengan murid, sebagai seseorang
yang menjalankan posisi pemantau.
Pertanyaan yang diajukan seorang pemantau:
“Peraturannya
apa?”
“Apa yang
telah kamu lakukan?”
“Sanksi atau
konsekuensinya apa?”
Seorang pemantau sangat mengandalkan penghitungan,
catatan, data yang dapat digunakan sebagai bukti atas perilaku seseorang.
Posisi ini akan menggunakan stiker, slip catatan, daftar cek. Posisi monitor
sendiri berawal dari teori stimulus-respon, yang menunjukkan tanggung jawab
guru dalam mengontrol murid.
Manajer: Posisi terakhir, Manajer,
adalah posisi mentor di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan murid,
mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar
dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer telah
memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau, dan dengan demikian,
bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua posisi tersebut bila diperlukan. Namun bila
kita menginginkan murid-murid kita menjadi manusia yang merdeka, mandiri dan
bertanggung jawab, maka kita perlu mengacu kepada Restitusi yang dapat
menjadikan murid kita seorang manajer bagi dirinya sendiri. Di manajer, murid diajak untuk menganalisis
kebutuhan dirinya, maupun kebutuhan orang lain. Disini penekanan bukan pada
kemampuan membuat konsekuensi, namun dapat berkolaborasi dengan murid bagaimana
memperbaiki kesalahan yang ada. Seorang manajer akan berkata:
“Apa yang
kita yakini?” (kembali ke keyakinan kelas)
“Apakah kamu
meyakininya?”
“Jika kamu
menyakininya, apakah kamu bersedia memperbaikinya?”
“Jika kamu memperbaiki
ini, hal ini menunjukkan apa tentang dirimu?”
“Apa rencana
kamu untuk memperbaiki hal ini?”
Tugas seorang manajer bukan untuk mengatur perilaku
seseorang. Kita membimbing murid untuk dapat mengatur dirinya. Seorang manajer
bukannya memisahkan murid dari kelompoknya, tapi mengembalikan murid tersebut
ke kelompoknya dengan lebih baik dan kuat.
Bisa
jadi dalam praktik penerapan disiplin sehari-hari, kita akan kembali ke posisi
Teman atau Pemantau, karena murid yang ditangani belum siap diajak berdiskusi
atau diundang melakukan restitusi. Namun perlu disadari tujuan akhir dari 5
posisi kontrol seorang guru adalah pencapaian posisi Manajer, di mana di posisi
inilah murid dapat menjadi pribadi yang mandiri, merdeka, dan bertanggung jawab
atas segala perilaku dan sikapnya, yang pada akhirnya dapat menciptakan
lingkungan yang positif, nyaman, dan aman.
Di bawah ini adalah contoh peragaan yang dikutip dari
Yayasan Pendidikan Luhur (2007) di mana ada seorang murid yang melanggar suatu
peraturan sekolah. Selanjutnya ada dialog antara seorang guru dengan murid
tersebut, serta bagaimana guru tersebut menjalankan disiplin dengan menggunakan
kelima posisi kontrol untuk kasus yang sama:
Adi yang terlambat hadir di sekolah.
Penghukum (Nada suara tinggi, bahasa tubuh: mata melotot, dan
jari menunjuk-nunjuk menghardik):
“Terlambat
lagi, pasti terlambat lagi, selalu datang terlambat, kapan bisa datang tepat
waktu?”
Tanyakan kepada diri Anda:
Bagaimana perasaan murid bila guru berbicara seperti
itu pada saat muridnya datang terlambat?
Akibat:
Kemungkinan murid marah dan mendendam atau bersifat agresif. Bisa jadi
sesudah kembali duduk, murid tersebut akan mencoret-coret bukunya atau meja
tulisnya. Lebih buruk lagi, sepulang sekolah, murid melihat motor atau mobil
bapak/ibu guru dan akan menggores kendaraan tersebut dengan paku.
Pembuat orang lain merasa bersalah (Nada suara memelas/halus/sedih, bahasa tubuh:
merapat pada anak, lesu):
“Adi, kamu ini bagaimana ya? Kamu sudah berjanji dengan ibu tidak akan terlambat
lagi. Kamu kenapa ya senang sekali
mengecewakan Ibu. Ibu benar-benar kecewa sekali.” Bagaimana perasaan murid bila ditegur seperti cara
ini?
Akibat:
Murid akan
merasa bersalah. Bersalah telah mengecewakan ibu atau bapak gurunya. Murid
akan merasa menjadi orang yang gagal dan tidak sanggup membahagiakan orang
lain. Kadangkala sikap seperti ini lebih berbahaya dari sikap penghukum,
karena emosi akan tertanam rapat di dalam, murid menahan perasaan. Tidak
seperti murid dalam dengan guru penghukum, di mana murid bisa menumpahkan
amarahnya walaupun dengan cara negatif. Murid tertekan seperti inilah yang tiba-tiba
bisa meletus amarahnya, dan bisa menyakiti diri sendiri atau orang lain.
Teman (nada suara: ramah, akrab, dan bercanda, bahasa
tubuh: merapat pada murid, mata dan senyum jenaka)
“Adi, ayolah, bagaimana sih kamu.
Kemarin kamu sudah janji ke bapak bukan, kenapa terlambat lagi? (sambil tertawa ringan). Ya, sudah
tidak apa-apa, duduk dulu sana. Nanti Pak Guru bantu. Kamu ini.” (sambil
senyum-senyum).
Bagaimana perasaan murid dengan sikap guru seperti ini? Akibat:
|
Murid akan merasa senang dan akrab dengan guru. Ini termasuk dampak yang
positif, hanya saja di sisi negatif murid menjadi tergantung pada guru
tersebut. Bila ada masalah, dia merasa bisa mengandalkan guru tersebut untuk
membantunya. Akibat lain dari posisi teman, Adi hanya akan berbuat sesuatu
bila yang menyuruh adalah guru tersebut, dan belum tentu berlaku yang sama
dengan guru atau orang lain.
Pemantau (nada suara
datar, bahasa tubuh yang formal): Guru: “Adi, tahukah kamu jam berapa kita
memulai?”
Adi: “Tahu Pak!”
Guru: “Kamu terlambat 15 menit, apakah kamu sudah
mengerti apa yang harus dilakukan bila terlambat?”
Adi: “Paham Pak, saya harus tinggal kelas pada jam istirahat nanti
dan mengerjakan tugas ketertinggalan saya.”
Guru: “Ya,
benar, nanti pada saat jam istirahat kamu harus sudah di kelas untuk menyelesaikan
tugas yang tertinggal tadi. Saya tunggu” Bagaimana perasaan murid diperlakukan seperti ini?
Akibat:
Murid memahami sanksi yang harus dijalankan karena telah melanggar salah
satu peraturan sekolah. Guru tidak menunjukkan suatu emosi yang berlebihan,
menjadi marah atau membuat merasa berbuat salah. Murid tetap dibuat tidak nyaman yaitu
dengan harus tinggal kelas pada waktu jam istirahat dan mengerjakan tugas.
Guru tetap harus memonitor atau memantau murid pada saat mengerjakan tugas di
jam istirahat karena murid tidak bisa ditinggal seorang diri.
Manajer (nada suara tulus, bahasa tubuh tidak kaku, mendekat ke murid):
Guru: “Adi, apakah kamu mengetahui jam berapa
sekolah dimulai?”
Adi: “Tahu Pak, jam 7:00!”
Guru: “Ya, jadi kamu terlambat, kira-kira bagaimana kamu akan memperbaiki masalah ini?”
Adi: “Saya bisa
menanyakan teman saya Pak, untuk mengejar tugas yang tertinggal.” Guru: “Baik, itu
bisa dilakukan. Apakah besok akan ada masalah untuk kamu agar bisa hadir
tepat waktu ke sekolah?”
Adi: “Tidak Pak, saya bisa hadir tepat
waktu.”
Guru: “Baik. Saya
hargai usahamu untuk memperbaiki diri” Bagaimana perasaan murid diperlakukan seperti ini?
Pada posisi Manajer maka suara guru sebaiknya tulus. Tidak perlu marah,
tidak perlu meninggikan suara, apalagi menunjuk-nunjuk jari ke murid,
berkacak pinggang, atau bersikap seolah-olah menyesal, tampak sedih sekali
akan perbuatan murid ataupun bersenda gurau menempatkan diri sebagai teman
murid.
Fokus adalah pada murid, bukan untuk membahagiakan guru atau orang tua.
Murid sudah mengetahui adanya suatu masalah, dan sesuatu perlu terjadi. Bila
guru mengambil posisi Pemantau, guru akan melihat apa sanksinya apa
peraturannya? Namun pada posisi Manajer, guru akan mengembalikan tanggung
jawab pada murid untuk mencari jalan keluar permasalahannya, tentu dengan
bimbingan guru.
|
5 POSISI KONTROL RESTITUSI
Motivasi
|
MOTIVASI
EKSTERNAL
|
MOTIVASI INTRINSIK
|
IDENTITAS GAGAL
|
IDENTITAS
BERHASIL/SUKSES
|
PERILAKU
KONTROL NEGATIF
|
PERILAKU
KONTROL POSITIF
|
KONTROL DIRI
|
|
PENGHUKUM
|
PEMBUAT
ORANG MERASA BERSALAH
|
TEMAN
|
PEMANTAU
|
MANAJER
|
Guru
Berbuat:
|
Menghardik Menunjuk- nunjuk Menyakiti
Menyindir
|
Berceramah Menunjukkan kekecewaan mendalam
|
Membuatkan
alasan-alasan
untuk muridmuridnya.
|
Menghitung dan
mengukur
|
Mengajukan
pertanyaan- pertanyaan
|
Guru
Berkata:
|
“Kalau kamu tidak melakukannya, saya akan…”
|
“Kamu sudah mengecewakan
Ibu/Bapak”
|
“Lakukan untuk Bapak/Ibu”
“Ya sudah nanti Bapak/Ibu bantu bereskan”
|
“Apa peraturannya?”
“Apa konsekuensinya/sanksinya?” “Apa yang telah kamu
lakukan?”
“Apa yang terjadi sekarang?”
|
“Apa yang kita yakini? Apa kamu meyakini hal tersebut?”
“Kalau kamu meyakininya, kamukah kamu memperbaikinya?” “Kalau kami memperbaikinya,
jadi kira-kira
hal tersebut akan
menggambarkan
apa tentang dirimu?”
|
Hasilnya:
|
Memberontak Pendendam
Menyalahkan
orang lain
|
Menyembunyi- kan
Menyangkal
Berbohong
|
Ketergantungan
|
Menyesuaikan
bila diawasi.
|
Menguatkan
watak/karakter
|
Murid
Berkata:
|
“Saya tidak
peduli”
|
“Maafkan saya”.
|
“Saya pikir Bapak/Ibu teman saya”
|
“Saya akan dapat berapa bintang kalau melakukan hal
tersebut?”
“Jika sudah melakukan hal tersebut, saya akan mendapatkan apa?”
|
“Bagaimana caranya agar saya bisa memperbaiki keadaan
ini?” “Saya akan memperbaiki masalah ini dengan…”
|
Dampak pada
Murid:
|
Mengulangi
kesalahan berulang kali.
Perilaku
menjadi agresif
|
Rendah diri Merasa gagal dan tidak berharga
|
Tergantung Tidak mandiri dan tidak bisa memutuskan
|
Menitikberatkan pada dampak pada diri sendiri, mendapatkan hadiah atau
mendapatkan hukuman.
|
Mengevaluasi diri Bagaimana
menjadi diri yang lebih baik
|
Motivasi
|
MOTIVASI
EKSTERNAL
|
MOTIVASI INTRINSIK
|
IDENTITAS GAGAL
|
IDENTITAS
BERHASIL/SUKSES
|
PERILAKU
KONTROL NEGATIF
|
PERILAKU
KONTROL POSITIF
|
KONTROL DIRI
|
|
PENGHUKUM
|
PEMBUAT
ORANG MERASA BERSALAH
|
TEMAN
|
PEMANTAU
|
MANAJER
|
Kaitan dengan
Dunia
Berkualitas
|
Murid
meletakkan guru di luar
Dunia
Berkualitas.
|
Murid meletakkan guru di dalam
Dunia
Berkualitas.
|
Murid meletakkan guru sebagai orang penting dalam Dunia Berkualitas.
|
Murid
meletakkan guru, peraturan di Dunia Berkualitas.
|
Murid meletakkan dirinya sebagai individu yang positif dalam
Dunia
Berkualitas.
|
2.6 - Segitiga Restitusi
Apa yang akan Anda lakukan bila,
•
Dalam sebuah acara pesta ulang tahun,
teman Anda memecahkan gelas. Apakah Anda akan membiarkan dia membayar harga
gelas yang dipecahkannya?
•
Anda sudah janji bertemu dengan teman
Anda, namun ternyata dia juga memiliki janji penting bertemu orang lain di tempat
lain, dan Anda terpaksa naik taksi untuk menemui teman Anda di tempat itu,
apakah Anda akan meminta teman Anda membayar biaya taksi Anda menuju ke tempat
tersebut?
•
Pegawai Anda membuat kesalahan yang
menyebabkan kerugian finansial pada perusahaan, pegawai tersebut menawarkan
untuk bekerja lembur tanpa bayaran, apakah Anda sebagai pemilik perusahaan akan
menerimanya?
Bila ada seseorang berbuat salah pada
Anda, ketika mereka menawarkan sebuah tindakan untuk memperbaiki kesalahan
mereka, kemungkinan besar, jawaban Anda
adalah akan menolak semua tawaran itu, dan akan bilang, tidak usah, tidak
apa-apa. Lupakan saja.
Kebiasaan
kita selama ini, bila ada orang yang berlaku salah pada kita adalah langsung
memaafkan, atau membuat mereka tidak nyaman. Kita cenderung untuk berfokus pada
kesalahan daripada mencari cara bagi mereka untuk memperbaiki diri. Kita lebih
fokus pada bagaimana cara mereka membayar ketidaknyamanan yang disebabkan oleh
kesalahan mereka daripada mengembalikan harga diri mereka. Membuat kondisi
menjadi impas, menjadi lebih penting daripada membuat situasi menjadi benar.
Sebagai seorang guru, ketika murid Anda
melakukan kesalahan, tindakan mana yang akan Anda lakukan?
•
Anda menunjukkan kesalahannya dan
memintanya melihat kesalahannya baik-baik?
•
Anda
mengatakan, “Kamu seharusnya tahu bagaimana kamu seharusnya bertindak”.
•
Anda mengingatkan murid Anda akan
kesalahannya yang sama di waktu sebelumnya.
•
Anda
akan bertanya padanya, “Kenapa kamu melakukan sesuatu yang seharusnya tidak kamu lakukan?”.
•
Anda akan mengkritik dia dan
mendiamkannya?
Kalau Anda melakukan tindakan-tindakan di
atas, mungkin Anda akan membuat murid Anda merasa menjadi anak yang gagal.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana kita
sebaiknya respon kita bila ada murid kita melakukan kesalahan? Mari kita baca
artikel ini:
Restitusi
Sebuah
Cara Menanamkan disiplin positif Pada Murid
Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid
untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok
mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004)
Restitusi juga adalah proses kolaboratif yang mengajarkan murid
untuk mencari solusi untuk masalah, dan membantu murid berpikir tentang orang
seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan
orang lain (Chelsom Gossen, 1996).
Restitusi membantu murid menjadi lebih memiliki
tujuan, disiplin positif, dan memulihkan dirinya setelah berbuat salah.
Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain
atau menghindari ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi orang yang
menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai. Sebelumnya kita telah belajar tentang teori
kontrol bahwa pada dasarnya, kita memiliki motivasi intrinsik.
Melalui
restitusi, ketika murid berbuat salah, guru akan menanggapi dengan cara yang
memungkinkan murid untuk membuat evaluasi internal
tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka dan mendapatkan
kembali harga dirinya. Restitusi menguntungkan korban,
tetapi juga menguntungkan orang yang telah berbuat
salah. Ini sesuai dengan prinsip dari teori kontrol William Glasser tentang
solusi menang-menang.
Ada peluang luar biasa bagi murid untuk bertumbuh
ketika mereka melakukan kesalahan, bukankah pada hakikatnya begitulah cara
kita belajar. Murid perlu bertanggung
jawab atas perilaku yang mereka pilih, namun mereka juga dapat memilih untuk
belajar dari pengalaman dan membuat pilihan yang lebih baik di waktu yang
akan datang. Ketika guru memecahkan masalah perilaku mereka, murid akan
kehilangan kesempatan untuk mempelajari keterampilan yang berharga untuk
hidup mereka.
Di bawah ini adalah ciri-ciri restitusi yang membedakannya dengan program
disiplin lainnya.
• Restitusi
bukan untuk menebus kesalahan, namun untuk belajar dari kesalahan
Dalam restitusi, ketika murid berbuat salah, guru tidak mengarahkan untuk
menebus kesalahan dengan membayar sejumlah uang, memperbaiki kerugian yang
timbul, atau sekedar meminta maaf. Karena kalau fokusnya kesana, maka murid
yang berbuat salah akan fokus pada tindakan untuk menebus kesalahan dan
menghindari ketidaknyamanan, yang bersifat eksternal, bukannya pada upaya perbaikan diri, yang
lebih bersifat internal. Biasanya setelah menebus kesalahan, orang yang
berbuat salah akan merasa sudah selesai dengan situasi itu sehingga merasa
lega, dan seolah-olah kesalahan tidak pernah terjadi.
Terkadang bisa juga muncul perasaan ingin balas dendam, bila orang yang
berbuat salah sebetulnya merasa tidak rela harus melakukan sesuatu untuk
menebus kesalahannya. Kalau tindakan untuk menebus kesalahan dipahami sebagai
hukuman, maka mungkin mereka berpikir untuk membuat situasinya menjadi
impas. Pembalasan seperti ini akan
berdampak jangka panjang karena konfliknya akan tetap ada. Menebus kesalahan
itu tidak salah, namun biasanya tidak membuat kita menjadi pribadi yang lebih
kuat.
Restitusi sebenarnya juga meliputi usaha untuk menebus kesalahan, tetapi
sebaiknya merupakan inisiatif dari murid yang melakukan kesalahan. Proses
pemulihan akan terjadi bila ada keinginan dari murid yang berbuat salah untuk
melakukan sesuatu yang menunjukkan rasa penyesalannya. Fokusnya tidak hanya
pada mengurangi kerugian pada
|
|
korban, tapi juga bagaimana menjadi orang yang lebih baik dan melakukan
hal baik pada orang lain dengan kebaikan yang ada dalam diri kita.
Ketika murid belajar dari kesalahan untuk menjadi
lebih baik untuk masa depan, mereka akan mendapatkan pelajaran yang mereka
bisa pakai terus menerus di masa depan untuk menjadi orang yang lebih baik.
|
•
|
Restitusi memperbaiki hubungan
Restitusi adalah tentang memperbaiki hubungan dan memperkuatnya.
Restitusi juga membantu murid-murid dalam hal mereka ingin menjadi orang
seperti apa dan bagaimana mereka ingin diperlakukan. Restitusi adalah proses
refleksi dan pemulihan. Proses ini menciptakan kondisi yang aman bagi murid
untuk menjadi jujur pada diri mereka sendiri dan mengevaluasi dampak dari
tindakan mereka pada orang lain. Ketika proses pemulihan dan evaluasi diri
telah selesai, mereka bisa mulai berpikir tentang apa yang bisa dilakukan
untuk menebus kesalahan mereka pada orang yang menjadi korban.
|
•
|
Restitusi adalah tawaran, bukan paksaan
Restitusi yang dipaksa bukanlah restitusi yang
sebenarnya, tapi konsekuensi. Bila guru memaksa proses restitusi, maka murid
akan bertanya, apa yang akan terjadi kalau saya tidak melakukannya. Misalnya
mereka sebenarnya tidak suka konsekuensi yang guru sarankan, mereka mungkin akan setuju dan akan melakukannya,
tapi karena mereka menghindari ketidaknyamanan atau menghindari kehilangan
kebebasan atau diasingkan dari kelompok. Mereka akan percaya kalau mereka
menyakiti orang, maka mereka juga tersakiti, maka mereka pikir itu impas.
Seorang anak yang memukul temannya akan mengatakan, “Kamu boleh pukul
aku balik, biar impas”. Memaksa melakukan restitusi bertentangan dengan perkembangan moral, yaitu
kebebasan untuk membuat pilihan. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk menciptakan kondisi yang membuat murid bersedia
menyelesaikan masalah dan berbuat lebih baik lagi, dengan berkata, “Tidak apa-apa kok berbuat salah itu manusiawi. Semua orang
pasti pernah
berbuat salah”. Pembicaraan ini
bersifat tawaran, bukan paksaan, bukan mengatakan, “Kamu harus lakukan ini,
kalau tidak maka…”
|
•
|
Restitusi menuntun untuk melihat ke dalam diri
|
Dalam proses restitusi kita akan melihat adanya ketidakselarasan antara
tindakan murid yang berbuat salah dan keyakinan mereka tentang orang seperti
apa yang mereka inginkan. Untuk membimbing proses pemulihan diri, guru bisa
bertanya pada mereka:
•
Kamu ingin
menjadi orang seperti apa?
•
Kamu akan
terlihat, terdengar, dan terasa seperti apa kalau kamu sudah menjadi orang
yang seperti itu?
•
Apa yang kamu
percaya tentang bagaimana orang harus memperlakukan orang lain?
•
Bagaimana kamu
mau diperlakukan ketika kamu berbuat salah?
•
Apa nilai yang
diajarkan di keluargamu tentang hal ini? Apakah kamu memegang nilai ini?
•
Kalau tidak,
lalu apa yang kamu percaya?
Kita tidak ingin menciptakan rasa bersalah pada diri anak dengan bertanya
seperti itu. Kalau guru melihat rasa bersalah di wajah murid, maka guru harus
cepat-cepat
mengatakan, “Tidak apa-apa kok
berbuat salah”.
Ketika murid sudah dibimbing untuk mengeksplorasi orang seperti apa yang
mereka inginkan, guru bisa mulai bertanya tentang kejadiannya, seberapa sering hal ini terjadi, apa yang ia lakukan, ia berada di
mana. Murid tidak akan berbohong pada
guru.
Restitusi
mencari kebutuhan dasar yang mendasari tindakan
Untuk berpindah dari evaluasi diri ke restitusi diri, penting bagi murid
untuk memahami dampak dari tindakannya pada orang lain. Kalau murid paham bahwa setiap orang
memiliki kebutuhan dasar untuk dipenuhi, hal ini akan sangat membantu,
sehingga ketika murid melakukan kesalahan, mereka akan menyadari kebutuhan
apa yang sedang mereka coba penuhi, demikian juga kebutuhan orang lain.
Untuk membantu murid mengenali kebutuhan dasarnya, guru bisa meminta
mereka mengenali perasaan mereka. Perasaan sedih dan kesepian menunjukkan
adanya kebutuhan cinta dan kasih sayang yang tidak terpenuhi. Perasaan
dipaksa, atau terlalu banyak beban, menunjukkan kurangnya kebutuhan akan
kebebasan. Perasaan takut akan kelelahan,
kelaparan, menunjukkan pada kita kalau kita merasa tidak aman. Perasaan bosan
menunjukkan kurang terpenuhinya kebutuhan akan kesenangan.
Restitusi
diri adalah cara yang paling baik
Dalam restitusi diri murid belajar untuk mengubah kebiasaan dari
kecenderungan untuk mengomentari orang lain,
menjadi mengomentari diri sendiri. Dr. William Glasser menyatakan,
orang yang bahagia akan mengevaluasi diri sendiri, orang yang tidak bahagia
akan mengevaluasi orang lain.
|
3 Tahap Evaluasi Diri:
1.
Saya tidak suka cara saya berbicara
padamu
2.
Kesalahan yang saya lakukan adalah
•
Saya sebenarnya punya informasi yang kamu butuhkan
•
Saya lelah dan saya bicara terlalu cepat
•
Saya tidak jelas menyampaikan apa yang saya
inginkan
•
Pemahaman saya berbeda dengan pemahamanmu
3.
Besok lagi saya akan
•
Menyampaikan informasi yang saya punya dan kamu
butuhkan
•
Saya akan bicara lebih lambat
•
Saya akan bicara lebih jelas tentang keinginan
saya
•
Menyampaikan pemahaman saya padamu
|
Ketika murid bisa melakukan restitusi diri maka dia akan bisa mengontrol dirinya
dengan lebih baik dengan tujuan yang lebih baik pula.
Ketika Anda berhadapan dengan orang lain, dan melakukan evaluasi diri,
maka 9 dari 10 orang yang diajak bicara juga akan melakukan evaluasi diri
juga. Mungkin akan ada 1 dari 10 orang yang diajak bicara, justru akan
menggunakan kesempatan itu untuk menghukum Anda. Kalau ini terjadi, tanyakan
saja, apakah Anda mau menggunakan kesempatan ini untuk menjelek-jelekkan saya
atau Anda mau membuat situasi ini menjadi lebih baik. Anda mau ke arah mana?
Restitusi fokus pada karakter bukan tindakan
Dalam proses restitusi diri, maka murid akan menyadari dia sedang menjadi
orang yang seperti apa, yang itu adalah menunjukkan fokus pada penguatan karakter. Ketika guru
membimbing murid untuk penguatan karakter, guru akan mengatakan,
“Ibu/Bapak tidak terlalu mempermasalahkan
apa yang kamu lakukan hari ini, tetapi mari kita bicara tentang apa yang akan
kamu lakukan besok. Kamu bisa saja
minta maaf, tapi orang akan lebih suka mendengar apa yang akan kamu lakukan
dengan lebih baik lagi.
Restitusi menguatkan
Bisakah momen ketika murid melakukan kesalahan
menjadi sebuah momen yang baik? Jawabnya, tentu bisa, asalkan ia bisa belajar
dari kesalahan itu. Apa maksud dari kalimat kita bisa lebih kuat setelah kita
belajar dari kesalahan? Lebih kuat disini maksudnya bukan menekan perasaan
kita dalam-dalam. Kuat disini artinya menyadari apa yang bisa murid ubah, dan
murid benar-benar mengubahnya. Guru bisa bertanya, apa yang dapat kamu ubah
dari dirimu sendiri? Bagaimana kamu akan berubah?
|
Restitusi fokus pada solusi
Dalam
restitusi, guru menstabilkan identitas murid dengan mengatakan, “Kita tidak fokus pada kesalahan, Bapak/ibu tidak tertarik untuk
mencari siapa yang benar, siapa yang salah.
Restitusi
mengembalikan murid yang berbuat salah pada kelompoknya Mari kita lihat praktik
pendidikan kita yang seringkali memisahkan anak-anak dari kelompoknya, misalnya
seorang anak TK bersikap tidak kooperatif pada saat kegiatan mendengar dongeng
dari gurunya, anak itu disuruh keluar dari kelompoknya, atau anak itu diminta duduk
di belakang kelas atau di pojok kelas, disuruh keluar kelas ke koridor, ke
kantor guru, seringkali dibiarkan tanpa pengawasan.
Kalau
ada anak remaja nakal, orangtua menyuruh pergi dari rumah. Padahal kalau mereka
jauh dari orang tuanya, orang tuanya jadi tidak bisa mengajari mereka dan
mereka tidak belajar nilai-nilai kebajikan. Kalau mereka tidak belajar,
bagaimana nasib generasi kita ke depan? Kalau kita menjauhkan remaja kita,
maka mereka akan putus hubungan dengan
kita.
Ketika
anak berbuat salah, kita tidak bisa memotivasi anak untuk menjadi baik, kita
hanya bisa menciptakan kondisi agar mereka bisa melihat ke dalam diri mereka.
Kita seharusnya mengajari mereka untuk menyelesaikan masalah mereka, dan
berusaha mengembalikan mereka ke kelompok mereka dengan karakter yang lebih
kuat.
Disarikan dari Buku It’s All About
WE; Rethinking Discipline using Restitution, Third Edition, Diane Gossen, 2008
Setelah Anda mengetahui tentang apa itu
restitusi, tentunya Anda ingin mengetahui bagaimana cara melakukanya. Diane Gossen dalam bukunya Restitution; Restructuring School
Discipline, 2001 telah merancang sebuah tahapan untuk memudahkan para guru dan
orangtua dalam melakukan proses untuk menyiapkan anaknya untuk melakukan
restitusi, bernama segitiga restitusi/restitution triangle.
Proses ini meliputi tiga tahap dan setiap tahapnya berdasarkan pada prinsip
penting dari Teori Kontrol, yaitu
Langkah
|
Teori Kontrol
|
1
|
Menstabilkan
Identitas Stabilize the Identity
|
Kita semua akan
melakukan hal terbaik yang bisa kita lakukan
|
2
|
Validasi
Tindakan yang Salah
Validate
the Misbehaviour
|
Semua perilaku memiliki alasan
|
3
|
Menanyakan
Keyakinan
Seek the
Belief
|
Kita semua
memiliki motivasi internal
|
Ketiga strategi tersebut direpresentasikan
dalam 3 sisi segitiga restitusi. Langkah-langkah itu tidak harus dilakukan satu
persatu. Banyak guru yang sudah menggunakannya dalam berbagai versi menurut
gaya mereka masing-masing bahkan tanpa mengetahui tentang teori restitusi.
1.
Menstabilkan Identitas/Stabilize the identity
Bagian dasar dari segitiga bertujuan untuk
mengubah identitas anak dari orang yang gagal karena melakukan kesalahan
menjadi orang yang sukses. Anak yang sedang mencari perhatian adalah anak yang
sedang mengalami kegagalan. Dia mencoba untuk memenuhi kebutuhan dasarnya namun
ada benturan. Kalau kita mengkritik dia, maka kita akan tetap membuatnya dalam
posisi gagal. Kalau kita ingin ia menjadi proaktif, maka kita harus meyakinkan
si anak, dengan cara mengatakan kalimat-kalimat ini:
Berbuat salah itu tidak
apa-apa.
•
Tidak ada manusia yang sempurna
•
Saya juga pernah melakukan kesalahan
seperti itu.
•
Kita bisa menyelesaikan ini.
•
Bapak/Ibu tidak tertarik mencari siapa
yang salah, tapi Bapak/Ibu ingin mencari solusi dari permasalahan ini.
•
Kamu berhak merasa begitu.
•
Apakah kamu sedang menjadi teman yang baik
buat dirimu sendiri?
Kalau kita mengatakan kalimat-kalimat
diatas, akan sangat sulit, bahkan hampir tidak mungkin, buat anak untuk tetap
membangkang. Para guru yang bertugas mengawasi anak-anak saat mereka bermain di
halaman sekolah, menyatakan bahwa bila mereka mengatakan kalimat tersebut yang
mungkin hanya butuh 30 detik, bisa mengubah situasi yang sulit menjadi
kooperatif.
Ketika seseorang merasa sedih dan
emosional, mereka tidak bisa mengakses bagian otak yang berfungsi untuk
berpikir rasional. Saat itulah ketika kita harus menstabilkan identitas anak.
Sebelum terjadi hal-hal lain yang bisa memperburuk keadaan, kita sebaiknya
membantu anak untuk tenang dan kembali ke suasana hati dimana proses belajar
dan penyelesaian masalah bisa dilakukan.
Tentu akan sulit melakukan restitusi bila,
anak yang berbuat salah terus berfokus pada kesalahannya. Ada 3 alasan untuk
ini, pertama rasa bersalah menguras energi. Rasa bersalah membutuhkan energi
yang sama dengan energi yang dibutuhkan untuk mencari penyelesaian
masalah. Kedua, ketika kita merasa
bersalah, kita mengalami identitas kegagalan. Dalam kondisi ini, orang akan
cenderung untuk menyalahkan orang lain atau
mempertahankan diri, daripada mencari
solusi. Ketiga, perasaan bersalah membuat kita terperangkap pada masa lalu
dimana kita sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kita hanya bisa mengontrol
apa yang akan terjadi di masa kini dan masa datang.
Sisi 2: Validasi Tindakan yang Salah/
Validate the Misbehavior
Setiap tindakan kita dilakukan dengan
suatu tujuan, yaitu memenuhi kebutuhan dasar. Kalau kita memahami kebutuhan
dasar apa yang mendasari sebuah tindakan, kita akan bisa menemukan cara-cara
paling efektif untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Menurut Teori Kontrol semua tindakan
manusia, baik atau buruk, pasti memiliki
maksud/tujuan tertentu. Seorang guru yang memahami teori kontrol pasti akan
mengubah pandangannya dari teori stimulus response ke cara berpikir proaktif
yang mengenali tujuan dari setiap tindakan. Kita mungkin tidak suka sikap
seorang anak yang terus menerus merengek, tapi bila sikap itu mendapat
perhatian kita, maka itu telah memenuhi kebutuhan anak tersebut. Kalimat-kalimat
dibawah ini mungkin terdengar asing buat guru, namun bila dikatakan dengan nada
tanpa menghakimi akan memvalidasi kebutuhan mereka.
•
“Padahal
kamu bisa melakukan yang lebih buruk dari ini ya?”
•
“Kamu
pasti punya alasan mengapa melakukan hal itu”
•
“Kamu
patut bangga pada dirimu sendiri karena kamu telah melindungi sesuatu yang penting buatmu”.
•
“Kamu
boleh mempertahankan sikap itu, tapi kamu harus menambahkan sikap yang baru.”
Biasanya guru menyuruh anak untuk
menghentikan sikap yang tidak baik, tapi teori kontrol menyatakan bahwa resep
itu tidak manjur. Mungkin tindakan guru dengan memvalidasi sikap yang tidak
baik seperti bertentangan dengan aturan yang ada.
Restitusi tidak menyarankan guru bicara ke
murid bahwa melanggar aturan adalah sikap yang baik, tapi dalam restitusi guru
harus memahami alasannya, dan paham
bahwa setiap orang pasti akan melakukan yang terbaik di waktu tertentu. Sebuah
pelanggaran aturan seringkali memenuhi kebutuhan anak akan kekuasaan/power
walaupun seringkali bertabrakan dengan kebutuhan yang lain, yaitu kebutuhan
akan cinta dan kasih sayang/love and belonging.
Kalau kita tolak anak yang sedang berbuat salah, dia akan tetap menjadi bagian
dari masalah. namun bila kita memahami alasannya melakukan sesuatu, maka dia
akan merasa dipahami.
Para guru yang telah menerapkan strategi
ini mengatakan bahwa anak-anak yang tadinya tidak terjangkau, menjadi lebih terbuka pada mereka. Strategi
ini menguntungkan bagi murid dan guru karena guru akan berada dalam posisi
siswa, dan karena itu akan memiliki perspektif yang berbeda.
Sisi Ketiga: Menanyakan Keyakinan/Seek the Belief
Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada
dasarnya termotivasi secara internal. Ketika identitas sukses telah tercapai
(langkah 1) dan tingkah laku yang salah telah divalidasi (langkah 2), maka anak
akan siap untuk dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah
menjadi orang yang dia inginkan. Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini
menghubungkan keyakinan anak dengan keyakinan kelas atau keluarga.
•
Apa yang kita percaya sebagai kelas atau
keluarga?
•
Apa nilai-nilai umum yang kita telah sepakati?
•
Apa bayangan kita tentang kelas yang
ideal?
•
Kamu mau jadi orang yang seperti apa?
Penting untuk menanyakan ke anak,
kehidupan seperti apa nantinya yang mereka inginkan?
Apakah kamu ingin menjadi orang yang
sukses, bertanggung jawab, atau bisa dipercaya?
Kebanyakkan
anak akan mengatakan “Iya,” Tapi mereka tidak tahu bagaimana
caranya menjadi orang seperti itu. Guru dapat membantu dengan bertanya, seperti
apa jika mereka jd orang seperti itu. ketika anak sudah mendapat gambaran yang
jelas tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, guru dapat membantu
anak-anak tetap fokus pada gambaran tersebut.
https://docs.google.com/presentation/d/1XEgZ5evvMUWJ9b21fGv5nHbmHoDut8bb/edit?usp=sharing&ouid=109216891526274763359&rtpof=true&sd=true