Featured Post (TOP)

#Category 1

Browse More

#Category 2

Browse More

#Category 3

Browse More

#Category 4

Browse More

Jumat, 15 Juli 2022

 

3.3.a.10. Aksi Nyata - Pengelolaan Program yang Berdampak pada Murid

Oleh : Muhammad Saleh, S.Kom.

SMP Zainul Hasan 2 Condong Gading Probolinggo

 

Penguatan Pendidikan Karakter Melalui Kegiatan Jum’at Bersih

 

A.       Peristiwa (Fact)

1.       Latar Belakang

SMP Zainul Hasan 2 merupakan sekolah dibawah nanungan Yayasan Pesantren Zainul Hasan yang berada di daerah Condong kecamatan Gading Kabupaten Probolinggo. Sekolah saya berada dilingkungan yang dekat dengan objek wisata songa rafting, pasar dan puskesmas. Sekolah kami juga satu lingkungan dengan RA dan MI Raudlatul Hasan yang masing dalam satu yayasan.

Kebersihan merupakan sesuatu yang sangat penting untuk kehidupan pribadi maupun lingkungan. Karena lingkungan yang bersih tanda lingkungan yang sehat dan masyarakat yang peduli akan kebersihan lingkungan merupakan hal penting dalam pencegahan penularan penyakit terlebih di masa pandemi seperti sekarang ini. Kebersihan lingkungan sekolah merupakan faktor pendukung yang sangat vital dalam menunjang proses Kegiatan Belajar Mengajar. Terciptanya suasana nyaman, bersih asri akan memberi dampak yang positif bagi warga sekolah.

Kepemimpinan pada murid (Student Agency) merupakan hal yang perlu dilatih sejak dini. Sebelum saya membuat program yang berdampak pada murid, langkah awal yang saya lakukan adalah melakukan survei dan analisis dengan melibatkan murid untuk mengetahui suara, pilihan dan kepemilikan. Dalam program ini murid diberi kesemapatan untuk dapat terlibat langsung dalam perencanan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan sehingga nantinya diharapkan kegiatan ini bisa berjalan dengan baik. Keterlibatan murid antara lain sebagai berikut:

·       Suara/Voice

Murid bebas berpendapat menentukan peran/tugasnya dan murid bebas berpendapat menyusun daftar kegiatan

·       Pilihan/Choise

Murid bebas menata/mengelola taman kelasnya dan murid bebas mengatur/membagi kelompoknya sendiri

·       Kepemilikan/Ownership

Murid terlibat aktif dalam penyusunan dan pelaksanaan program serta mempublikasikan karyanya di mading atau media sosial

              Harapan kegiatan jum’at bersih yaitu:

·       Menguatkan pola pikir positif dan merasakan emosi yang positif, hingga berkemampuan dan berkeinginan untuk memberikan pengaruh positif kepada kehidupan orang lain dan sekelilingnya.

·       Mengembangkan keterampilan berinteraksi sosial secara positif, arif dan bijaksana

·       Lingkungan yang menyediakan kesempatan untuk murid menggunakan pola pikir positif dan merasakan emosi yang positif, hingga berkemampuan dan berkeinginan untuk memberikan pengaruh positif kepada kehidupan orang lain dan sekelilingnya.

·       Lingkungan yang mengembangkan keterampilan berinteraksi sosial secara positif, arif dan bijaksana

 

Oleh karena itu kami menyusun program yang berdampak pada murid yaitu program Jum’at Bersih dengan harapan dapat mewujudkan kepemimpinan Murid sesuai profil pelajar Pancasila.



Diskusi dengan murid tentang program yang jum’at bersih

 



Dialog dengan guru tentang program jum’at bersih

 



Sosialisasi pada orang tua tentang program sekolah jum’at bersih

 

2.       Yang dilakukan pada Aksi Nyata

Kegiatan Jum’at Bersih ini diawali dengan melakukan diskusi bersama kepala sekolah/rekan kerja bagaimana program jum’at bersih dapat berhasil dan dialog dengan kepala sekolah untuk mengidentifikasi hal-hal yang dapat meningkatkan kepedulian murid akan lingkungan sekolah yang bersih dan taman yang indah. Kemudian dilanjutkan dengan survei minat kepedulian murid pada lingkungan sekitar dan musyawarah dengan murid untuk mengetahui kegiatan sekolah yang menguatkan kepedulian lingkungan sekitar yang akhirnya diambil kesepakatan untuk membuat program jum’at bersih disekolah agar lingkungan sekolah tercipta suasana nyaman, bersih, asri yang akan memberi dampak yang positif bagi warga sekolah. Kemudian saya menuangkan ide gagasan ini dalam model BAGJA agar kegiatan yang dilakukan lebih terarah. Setelah itu kami melakukan identifikasi aset apa saja yang bisa menguatkan program ini dan identifikasi apa saja yang diperlukan untuk menjalankanya.

Setelah semua persiapan sudah selesai kami mejalankan program ini pada minggu berikutnya dengan mengawali kegiatan pada pagi hari yaitu jam 06.30 WIB. dengan melakukan sholat dhuha berjama’ah yang di koordinatori oleh OSIS dan pembiasaan asmaul husnah sebelum memulai pelajaran. Dengan adanya kegiatan sholat dhuha ini berdampak positif bagi kedisiplinan siswa dan guru-guru yaitu tidak ada yang terlambat hadir kesekolah. Kemudian kegiatan dilanjutkan dengan pelajaran seperti biasa selama 3 jam pelajaran dan didalam pelajaran ini diberikan penguatan oleh guru tentang penting kebersihan lingkungan sekolah karena kebersihan adalah sebagian dari iman. Setelah jam pelajaran berakhir murid diberi kesempatan untuk istirahat selama 20 menit kemudian dilanjutkan dengan kegiatan jum’at bersih. Pada kegiatan jum’at bersih ini guru dan murid melakukan tugas masing-masing sesuai dengan kesepakatan dan kadwal yang telah dibuat. Pembagian tugas yang dilakukan yaitu sebagian murid ada yang membersihkan ruang kelas masing-masing, ada yang membersihkan area yang sudah dikapling sesuai kelasnya seperti halaman sekolah, kamar mandi, dan taman sekolah seperti apa yang sudah dimusyawarahkan dan disepekati bersama. Guru juga terlibat dalam membersihkan ruang kantor guru, perpustakaan dan laboratorium sekolah.



Pelaksanaan program jum’at bersih

 



Membersihkan taman dan lingkungan sekolah

 

3.       Hasil dari Aksi Nyata yang dilakukan

Hasil dari kegaiatan jum’at bersih ini antara lain:

1.       Semua warga sekolah disiplin tepat waktu hadir sekolah bahkan sebelum pelajaran dimulai

2.       Murid bersemangat dalam proses belajar karena lingkungan yang nyaman dan bersih

3.       Murid memiliki sikap gotong royong di sekolah, meningkatkan rasa kepedulian akan kebersihan lingkungan, dan membiasakan hidup sehat.

4.       lingkungan sekolah yang bersih, indah, rapi  dan nyaman sehingga memberikan suasana belajar yang kondusif.

5.       Warga sekolah dapat mengimbaskan ke lingkungan masyarakat sekitarnya tentang pentingnya kebersihan lingkungan dan murid juga terbiasa membantu orang tuanya untuk membersihkan rumah.



Penghargaan dalam lomba kebersihan kelas

 

B.       Perasaan (Feeling)

Perasaan saya sangat senang karna dengan kegiatan jum’at bersih ini murid  dan guru sangat antusias melakukan kegiatan ini. Guru dan murid saling bergotong royong untuk membersihkan lingkungan sekolah. Murid memiliki kepedulian pada lingkungan sekitar. Murid juga terbiasa dengan pola hidup sehat dan terbiasa melakukan kegiatan positif sehingga kebiasaan-kebiasaan baik ini bisa dibawa sampai kerumah dengan membantu orang tua untuk membersihkan rumah.

 

C.      Pembelajaran (Finding)

Dari kegiatan jum’at bersih ini kami banyak mengambil pelajaran seperti keterlibatan murid dari perencanaan sampai pelaksanaan sangat mendukung keberhasilan kegiatan yang dilakukan, mindset/pola pikir murid yang berubah tentang pentingnya pola hidup sehat daan kebersihan lingkungan, terbentuknya sikap gotong royong dan interaksi sosial yang positif antar warga sekolah, dan lingkungan sekolah yang bersih dan asri dapat mendukung semangat belajar siswa dalam proses kegiatan belajar mengajar di sekolah. Melalui jum’at bersih ini murid-murid dapat mewujudkan kepemimpian murid / student agency seperti Suara/Voice: murid, Pilihan/Choise: murid bebas menata/mengelola taman kelasnya dan murid bebas mengatur/membagi kelompoknya sendiri dan Kepemilikan/Ownership: murid terlibat aktif dalam penyusunan dan pelaksanaan program dan merasa memiliki dengan sekolah sehingga bisa menjaga sekolah dengan baik.

 

D.      Penerapan ke Depan (Future)

Dalam penerapan kedapan saya akan mencoba menjalankan program ini secara konsisten dan keberlanjutan. Selain itu kegiatan ini bisa menjadi sarana/wadah murid untuk mengkespresikan diri dengan mengembangkannya menjadi kegiatan yang bisa berkolaborasi dengan penugasan proyek seperti kebun sekolah, pameran karya murid dan sekolah adiwiyata. Selain itu

Tantangan yang dihadapi:

·       Kurangnya kesadaran sebagian murid untuk menjaga kebersihan sekolah pada hari selain jum’at bersih seperti membuang sampah sembarangan.

·       Kurangnya partisipasi murid dalam pelaksanaan program jum’at bersih

·       Kurangnya dana sekolah untuk pengadaan peralatan kebersihan yang kurang memadai

Rencana Evaluasi:

·       Melakukan koordinasi dengan wali kelas dan osis untuk mengingatkan siswa yang kurang sadar membuang sampah sembarangan

·       Membuat jadwal untuk penyuluhan dinas kesehatan tentang kebersihan lingkungan

·       Mengajukan komposer pada dinas lingkungan hidup untuk pengolahan sampah

·       Membuat perencanaan dan kolaborasi dengan guru prakarya untuk pengolahan limbah sampah menjadi barang yang berguna seperti pot bunga dan lain-lain.

·       Mengajukan kepada kepala sekolah untuk program sekolah adiwiyata.

 

Rabu, 15 Juni 2022

3.1.a.9. Koneksi Antar Materi

 

Koneksi Antar Materi

Berikut adalah Panduan Pertanyaan dan jawaban untuk membuat Rangkuman Kesimpulan Pembelajaran (Koneksi Antarmateri):

1.  Bagaimana pandangan Ki Hajar Dewantara dengan filosofi Pratap Triloka memiliki pengaruh terhadap bagaimana sebuah pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin pembelajaran diambil?

Filosofi Pratap Triloka KHD yang dikenal dengan Ing Ngarso Sung Thulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, dan Tut Wuri Handayani, menjadi sangat relevan untuk dijadikan landasan dalam mengambil sebuah keputusan yang bertanggung jawab dan berpihak pada murid. Karena sejatinya seorang guru adalah penuntun yang tugasnya adalah menuntun kodrat anak, baik kodrat alam maupun kodrat zamannya agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Makna kata “Penuntun”, dapat dipahami sebagai “Pemimpin Pembelajaran”, yang berpusat pada murid.
Berlandaskan filosofi Pratap Triloka KHD dalam pengambilan keputusan di kelas akan membawa kepada perubahan positif pada BUDI PEKERTI. BUDI (cipta, rasa, karsa) dan PEKERTI (tenaga/raga) harus seimbang dan holistik. Kesempurnaan budi pekerti akan membawa anak pada kebijaksanaan. Semua disiplin ilmu dan pengambllan keputun harus menuju kepada KEBIJAKSANAAN. Menurut KHD, semua yang kita lakukan di bidang pendidikan harus berorientasi kepada murid. Atau bahasa lain yang digunakan KHD adalah " Bebas dari segala ikatan, dengan suci hati mendekati sang anak, tidak untuk meminta sesuatu hak, namun untuk berhamba pada sang anak". 

"Pendidikan itu harus memerdekakan"
Pengambilan keputusan yang dilakukan guru dalam proses pembelajaran di kelas yang berpihak dan memerdekakan murid akan menjadi contoh dan tauladan bagi murid-murid untuk mulai berani mengambil keputusan-keputusan yang sesuai dengan pilihannya sendiri tanpa paksaan dan campur tangan orang lain. Diharapkan bahwa murid akan lebih nyaman untuk berkomunikasi dan menentukan pilihan keputusan bersama dengan guru , dan para guru akan lebih memperhatikan kepentingan muridnya.

2.  Bagaimana nilai-nilai yang tertanam dalam diri kita, berpengaruh kepada prinsip-prinsip yang kita ambil dalam pengambilan suatu keputusan?

Nilai-Nilai Kebajikan
Nilai-nilai yang dimiliki seorang guru adalah nilai kebajikan, di antaranya keadilan, tanggung Jawab, kejujuran, bersyukur, lurus hati, berprinsip, integritas, kasih Sayang, rajin, komitmen, percaya Diri, kesabaran, dan masih banyak lagi. Mengajarkan nilai-nilai kebajikan merupakan hal kunci yang perlu diajarkan kepada murid-murid kita.
Sebagai Calon Guru Penggerak, tentunya ada beberapa nilai yang harus dipegang seperti nilai mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif dan berpihak pada murid.
Ketika kita menghadapi situasi dilema etika, akan ada nilai-nilai kebajikan mendasari yang bertentangan seperti cinta dan kasih sayang, kebenaran, keadilan, kebebasan, persatuan, toleransi, tanggung jawab dan penghargaan akan hidup.
Untuk dapat mengambil keputusan diperlukan nilai-nilai atau prinsip dan pendekatan sehingga keputusan tersebut merupakan keputusan yang paling tepat dengan resiko yang paling minim bagi semua pihak, terutama bagi kepentingan /keberpihakan pada anak didik kita.

3.  Bagaimana kegiatan terbimbing yang kita lakukan pada materi pengambilan keputusan berkaitan dengan kegiatan 'coaching' (bimbingan) yang diberikan pendamping atau fasilitator dalam perjalanan proses pembelajaran kita, terutama dalam pengujian pengambilan keputusan yang telah kita ambil. Apakah pengambilan keputusan tersebut telah efektif, masihkah ada pertanyaan-pertanyaan dalam diri kita atas pengambilan keputusan tersebut. Hal-hal ini tentunya bisa dibantu oleh sesi 'coaching' yang telah dibahas pada modul 2 sebelumnya.

Dalam dunia pendidikan Coaching merupakan proses untuk mengaktivasi kerja otak murid. Pertanyaan-pertanyaan reflektif yang diberikan Coach dapat membuat murid melakukan metakognisi untuk mengambil keputusan dengan memilih sendiri alternatif/solusi dari permasalahan yang dihadapinya tanpa paksaan dan campur tangan orang lain. Proses coaching dilakukan sebagai pendampingan bagi coachee dalam menemukan solusi dan menggali potensi yang ada dalam diri, yang kemudian dituangkan dalam sebuah tindakan sebagai bentuk tanggung jawab (TIRTA). 

Menilik kembali filosofi Ki Hajar Dewantara tentang peran utama guru (Pamong/Pedagog), maka memahami pendekatan Coaching menjadi selaras dengan Sistem Among sebagai salah satu pendekatan yang memiliki kekuatan untuk menuntun kekuatan kodrat anak (murid). Pendekatan coaching sistem among dapat diterapkan dengan menggunakan metode TIRTA yang merupakan kepanjangan dari T: Tujuan, I: Identifikasi, R: Rencana aksi, dan TA: Tanggung jawab. Dari segi bahasa, TIRTA berarti air. Air mengalir dari hulu ke hilir. Jika kita ibaratkan murid kita adalah air, maka biarlah ia merdeka, mengalir lepas hingga ke hilir potensinya. kita, sebagai guru memiliki tugas untuk menjaga air itu tetap mengalir, tanpa sumbatan. Tugas guru adalah menuntun atau membantu murid (coachee) menyadari bahwa mereka mampu menyingkirkan sumbatan-sumbatan yang mungkin menghambat perkembangan potensi dalam dirinya. Hal ini selaras dengan Tujuan coaching yaitu untuk melejitkan potensi murid agar menjadi lebih merdeka.

Pendekatan coaching model TIRTA menjadi selaras jika disandingkan dengan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan yang bertanggung jawab dan berpihak pada anak. Keterampilan coaching akan membantu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk memprediksi hasil, dan melihat berbagai opsi sehingga dapat mengambil keputusan dengan baik.

Dalam proses coaching, seorang coach menuntun agar coachee dapat menggali, memetakan situasinya sehingga menghasilkan pemikiran atau ide-ide baru atas situasi yang sedang dihadapi. Proses coaching menekankan pada proses inkuiri yaitu kekuatan pertanyaan atau proses bertanya yg muncul dalam dialog saat coaching. Pertanyaan efektif mengaktifkan kemampuan berpikir reflektif para murid dan keterampilan bertanya mereka dalam pencarian makna dan jawaban atas situasi atau fenomena yang mereka hadapi dan jalani.

4.  Bagaimana kemampuan guru dalam mengelola dan menyadari aspek sosial emosionalnya akan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan?

Diperlukan kompetensi kesadaran diri (self awareness), pengelolaan diri (self management), kesadaran sosial (social awareness) dan keterampilan berhubungan sosial (relationship skills) untuk mengambil keputusan. Pengambilan keputusan yang bertanggung jawab adalah kemampuan seseorang untuk membuat pilihan-pilihan yang konstruktif terkait dengan perilaku pribadi serta interaksi sosial mereka berdasarkan standar etika, pertimbangan keamanan dan keselamatan, serta norma sosial (CASEL).
Diharapkan proses pengambilan keputusan dapat dilakukan secara sadar penuh (mindful), sadar dengan berbagai pilihan dan konsekuensi yang ada. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa di dalam kondisi berkesadaran penuh, terjadi perubahan fisiologis seperti meluasnya area otak yang terutama berfungsi untuk belajar dan mengingat, berkurangnya stres, dan munculnya perasaan tenang dan stabil (Kabat-Zinn, 2013, hal. 37). Dengan latihan berkesadaran penuh, maka seseorang dapat menumbuhkan perasaan yang lebih tenang dan pikiran yang lebih jernih, yang akan berpengaruh pada keputusan yang lebih responsif dan reflektif.

5.  Bagaimana pembahasan studi kasus yang fokus pada masalah moral atau etika kembali kepada nilai-nilai yang dianut seorang pendidik

Sebagai seorang pendidik seringkali kita dihadapkan pada suatu keadaan di mana kita harus  mengambil sebuah keputusan sulit. Namun, perlu kita ketahui bahwa tidak semua keputusan sulit tersebut merupakan dilema etika. Ada kalanya itu lebih berupa bujukan moral. 

"Etika terkait dengan karsa karena manusia memiliki kesadaran moral. Akal dan moral dua dimensi manusia yang saling berkaitan. Etika terkait dengan karsa karena manusia memiliki kesadaran moral." (Rukiyanti, L. Andriyani, Haryatmoko, Etika Pendidikan, hal. 43).
Dari kutipan di atas kita bisa menarik kesimpulan bahwa karsa merupakan suatu unsur yang tidak terpisahkan dari perilaku manusia. Karsa ini pun berhubungan dengan nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang dianut oleh seseorang, disadari atau pun tidak. Nilai-nilai atau prinsip-prinsip inilah yang mendasari pemikiran seseorang dalam mengambil suatu keputusan yang mengandung unsur dilema etika. Ketika Guru berhadapan dengan kasus-kasus yang fokus pada masalah moral atau etika, maka nilai-nilai diri yang dianut dan yang paling dihargai oleh seorang pendidik akan sangat mempengaruhi dalam proses pengambilan keputusan. Nilai-nilai yang dianut oleh Guru Penggerak seperti mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif dan berpihak pada murid , tentunya akan sangat mempengaruhi paradigma dan prinsip pengambilan keputusan seorang Guru Penggerak .

Selama ini pada saat mengambil keputusan, landasan pemikiran kita memiliki kecenderungan pada prinsip : (1) Melakukan, demi kebaikan orang banyak.; (2) Menjunjung tinggi prinsip-prinsip/nilai-nilai dalam diri kita; (3) Melakukan apa yang Anda harapkan orang lain akan lakukan kepada diri Anda.
Etika tentunya bersifat relatif dan bergantung pada kondisi dan situasi, dan tidak ada aturan baku yang berlaku.

6.   Bagaimana pengambilan keputusan yang tepat, tentunya berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman.

Setiap keputusan yang kita ambil akan ada konsekuensi yang mengikutinya, dan oleh sebab itu setiap keputusan perlu berdasarkan pada rasa tanggung jawab, nilai-nilai kebajikan universal dan berpihak pada murid. 


Sebagai upaya pengambilan keputusan yang tepat, yang berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman dapat dilakukan dengan bebrapa tahap berikut, yaitu :
  • Mengidentifikasi jenis-jenis paradigma dilema etika yang sesui dari suatu kasus
  • Memilih dan memahami 3 (tiga) prinsip yang dapat dilakukan untuk membuat keputusan dalam dilema pengambilan keputusan.
  • Menerapkan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan yang diambil dalam dilema etika 
  • bersikap reflektif, kritis, dan kreatif dalam proses tersebut

7.  Selanjutnya, apakah kesulitan-kesulitan di lingkungan Anda yang sulit dilaksanakan untuk menjalankan pengambilan keputusan terhadap kasus-kasus dilema etika ini? Apakah ini kembali ke masalah perubahan paradigma di lingkungan Anda?
  • Mengambil keputusan sendiri untuk masalah/kasus pribadi saya sebagai pendidik
  • Ketika berhadapan pada suatu dilema etika individu lawan masyarakat (dalam konteks di sekolah). Kecenderungan pendapat individu (kelompok kecil) akan terpatahkan oleh masyarakat (kelompok besar). Sebagai contoh, dalam pengambilan keputusan kenaikan kelas bagi anak yang memiliki kompetesi pengetahuan rendah tetapi memiliki nilai karakter yang baik.
  • Trauma dari kegagalan mengambil keputusan di masa lalu
  • Kekhawatiran jika keputusan yang diambil justru berdampak tidak baik (merugikan) bagi sebagian besar suatu pihak.
  • Menyelidiki situasi atau masalah secara detail atau mengumpulkan berbagai macam informasi terkait dengan situasi tersebut. Contoh : Seringkali informan memberi keterangan yang tidak konsisten.
8.  Dan pada akhirnya, apakah pengaruh pengambilan keputusan yang kita ambil ini dengan pengajaran yang memerdekakan murid-murid kita?

"Beban dan amanah kepemimpinan adalah mengimbangi semua prioritas yang terpenting. Tugas saya dalam pendidikan adalah melakukan yang terbaik. Apa yang diinginkan kadang-kadang belum tentu itu yang terbaik. Dan untuk membuat perubahan, apalagi perubahan transformasional, pasti ada kritik. Sebelum mengambil keputusan, tanyakan, apakah yang kita lakukan berdampak pada peningkatan pembelajaran murid?" (Nadiem Makarim, 2020)

Pada konteks merdeka belajar, proses pembelajaran yang dilakukan adalah yang berpihak pada murid. Karena itu, pengambilan keputusan yang dilakukan guru dalam proses pembelajaran hendaknya dapat “menuntun” dan memberikan ruang bagi murid dalam proses pengajaran untuk merdeka mengemukakan pendapat dan mengekspresikan ilmu -ilmu baru yang didapatnya. Dengan demikian murid-murid dapat belajar mengambil keputusan yang sesuai dengan pilihannya sendiri tanpa paksaan dan campur tangan orang lain.

9.  Bagaimana seorang pemimpin pembelajaran dalam mengambil keputusan dapat mempengaruhi kehidupan atau masa depan murid-muridnya?

Seorang pemimpin pembelajaran yang memiliki penalaran yang baik, sepantasnya menghargai konsep-konsep dan prinsip-prinsip etika yang pasti.  Prinsip-prinsip etika sendiri berdasarkan pada nilai-nilai kebajikan universal yang disepakati dan disetujui bersama, lepas dari latar belakang sosial, bahasa, suku bangsa, maupun agama seseorang. Nilai-nilai kebajikan universal meliputi hal-hal seperti Keadilan, Tanggung Jawab, Kejujuran, Bersyukur, Lurus Hati, Berprinsip, Integritas, Kasih Sayang, Rajin, Komitmen, Percaya Diri, Kesabaran, dan masih banyak lagi.

Keputusan-keputusan yang diambil oleh guru sebagai pemimpin pembelajaran akan merefleksikan nilai-nilai yang dijunjung tinggi, dan akan menjadi rujukan atau teladan bagi seluruh warga sekolah, terutama bagi murid. Pendidik adalah teladan bagi murid untuk mewujudkan profil pelajar Pancasila.

10.   Apakah kesimpulan akhir yang dapat Anda tarik dari pembelajaran modul materi ini dan keterkaitannya dengan modul-modul sebelumnya?

Guru sebagai pendidik yang peran utamanya adalah "menuntun" segala kodrat yang dimiliki oleh anak, baik kodrat alam maupun kodrat zamannya, agar anak meraih kemerdekaannya dalam belajar. Dalam proses menuntun, guru berperan sebagai pamong, yang mengedepankan azaz pratap trikolaka ing ngarso sung thulodo, ing madyo mbangun karso, dan tut wuri handayani dalam kepemimpinannya di pembelajaran. Pratap Triloka KHD yang dikedepankan oleh guru dalam pengambilan keputusan di kelas akan membawa kepada perubahan positif pada BUDI PEKERTI anak. Kesempurnaan budi pekerti akan membawa anak pada kebijaksanaan. Semua disiplin ilmu dan pengambilan keputun harus menuju kepada KEBIJAKSANAAN.

Dibutuhkan nilai-nilai kebajikan  agar setiap keputusan yang diambil oleh guru merupakan keputusan yang paling tepat dengan resiko yang paling minim bagi semua pihak, terutama bagi kepentingan /keberpihakan pada anak didik kita. Nilai-nilai kebajikan tersebut dapat berupa : keadilan, tanggung Jawab, kejujuran, bersyukur, lurus hati, berprinsip, integritas, kasih Sayang, rajin, komitmen, percaya Diri, kesabaran, dan masih banyak lagi. Mengajarkan nilai-nilai kebajikan merupakan hal kunci yang perlu diajarkan kepada murid-murid kita. Selain itu terdapat nilai khusus bagi Calon guru Penggerak yang akan menjadi role model bagi murid yaitu : mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif dan berpihak pada murid , tentunya akan sangat mempengaruhi paradigma dan prinsip pengambilan keputusan seorang Guru Penggerak .

Selain itu, diperlukan kompetensi kesadaran diri (self awareness), pengelolaan diri (self management), kesadaran sosial (social awareness) dan keterampilan berhubungan sosial (relationship skills) untuk mengambil keputusan. Pengambilan keputusan yang bertanggung jawab adalah kemampuan seseorang untuk membuat pilihan-pilihan yang konstruktif terkait dengan perilaku pribadi serta interaksi sosial mereka berdasarkan standar etika, pertimbangan keamanan dan keselamatan, serta norma sosial (CASEL). Diharapkan proses pengambilan keputusan dapat dilakukan secara sadar penuh (mindful), sadar dengan berbagai pilihan dan konsekuensi yang ada. Karena di dalam kondisi berkesadaran penuh, terjadi perubahan fisiologis seperti meluasnya area otak yang terutama berfungsi untuk belajar dan mengingat, berkurangnya stres, dan munculnya perasaan tenang dan stabil. Dengan latihan berkesadaran penuh, maka seseorang dapat menumbuhkan perasaan yang lebih tenang dan pikiran yang lebih jernih, yang akan berpengaruh pada keputusan yang lebih responsif dan reflektif.

Setiap keputusan yang kita ambil akan ada konsekuensi yang mengikutinya, dan oleh sebab itu setiap keputusan perlu berdasarkan pada rasa tanggung jawab, nilai-nilai kebajikan universal dan berpihak pada murid. 

Sebagai upaya pengambilan keputusan yang tepat, yang berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman dapat dilakukan dengan bebrapa tahap berikut, yaitu :
  • Mengidentifikasi jenis-jenis paradigma dilema etika yang sesui dari suatu kasus
  • Memilih dan memahami 3 (tiga) prinsip yang dapat dilakukan untuk membuat keputusan dalam dilema pengambilan keputusan.
  • Menerapkan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan yang diambil dalam dilema etika 
  • bersikap reflektif, kritis, dan kreatif dalam proses tersebut
Karena itu, dibutuhkan keterampilan Kepemimpinan Pendukung Pemimpin Pembelajaran, diantaranya, adalah sebagai berikut :
  1. Pengetahuan diri
  2. Manajemen Waktu dan Kehidupan
  3. Agen Perubahan
  4. Tujuan dan Usaha Bersama
  5. Pengambilan Keputusan Beretika
  6. Pengaruh Komunikasi Persuasif
  7. Budaya Iklim Komunitas
  8. Transisi Kepemimpinan dan Perencanaan Suksesi
  9. Arahan yang Jelas dan Tegas


Semoga artikel ini bermanfaat.😉😊

Jumat, 11 Februari 2022

Aksi Nyata Budaya Positif 

Oleh: Muhammad Saleh, S.Kom

SMP Zainul Hasan 2 Condong

CGP Angkatan 4 Kabupaten Probolinggo


 

2.1 Perubahan Paradigma

 

Untuk membangun budaya yang positif, sekolah perlu menyediakan lingkungan yang positif, aman, dan nyaman agar murid-murid mampu berpikir, bertindak, dan mencipta dengan merdeka, mandiri, dan bertanggung jawab. Salah satu strategi yang perlu ditinjau ulang adalah bentuk disiplin yang dijalankan selama ini di sekolah-sekolah kita. Pembahasan disiplin kali ini akan meninjau teori yang dikemukakan oleh Diane Gossen. Sebelum kita gali lebih lanjut tentang teori Disiplin Restitusi dari Diane Gossen, mari menyamakan model berpikir kita tentang disiplin itu sendiri. Lazimnya disiplin dikaitkan dengan kontrol. Dalam hal ini kontrol guru dalam menghadapi murid.

 

Di bawah ini adalah paparan Dr. William Glasser dalam Control Theory, untuk meluruskan berapa miskonsepsi tentang kontrol:

 

Ilusi guru mengontrol murid. 

Pada dasarnya kita tidak dapat memaksa murid untuk berbuat sesuatu jikalau murid tersebut memilih untuk tidak melakukannya. Walaupun tampaknya kita sedang mengontrol perilaku murid tersebut, hal ini karena murid tersebut sedang mengizinkan dirinya dikontrol. Saat itu bentuk kontrol guru menjadi kebutuhan dasar yang dipilih murid tersebut. Teori Kontrol menyatakan bahwa semua perilaku memiliki tujuan, bahkan terhadap perilaku yang tidak disukai.

 

Ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat.

Penguatan positif atau bujukan adalah bentuk-bentuk kontrol. Segala usaha untuk mempengaruhi murid agar mengulangi suatu perilaku tertentu, adalah suatu usaha untuk mengontrol murid tersebut. Dalam jangka waktu tertentu, kemungkinan murid tersebut akan menyadarinya dan mencoba untuk menolak bujukan kita, atau bisa jadi murid tersebut menjadi tergantung pada pendapat sang guru untuk berusaha.  

 

Ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter.

Menggunakan kritik dan rasa bersalah untuk mengontrol murid menuju pada identitas gagal. Mereka belajar untuk merasa buruk tentang diri mereka. Mereka mengembangkan dialog diri yang negatif. Kadang kala sulit bagi guru untuk mengidentifikasi bahwa mereka melakukan perilaku ini, karena seringkali guru cukup menggunakan suara halus untuk menyampaikan pesan negatif.

Ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa.

Banyak orang dewasa yang percaya bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk membuat murid-murid berbuat hal-hal tertentu. Apapun yang dilakukan dapat diterima, selama ada sebuah kemajuan berdasarkan sebuah pengukuran kinerja. Pada saat itu pula, orang dewasa akan menyadari bahwa perilaku memaksa tidak akan efektif untuk jangka waktu panjang, dan sebuah hubungan permusuhan akan terbentuk.

 

Bagaimana seseorang bisa berubah dari paradigma Stimulus-Respon kepada pendekatan teori Kontrol? Stephen R. Covey (Principle-Centered Leadership,

1991) mengatakan bahwa,

“..bila kita ingin membuat kemajuan perlahan, sedikit-sedikit, ubahlah sikap atau perilaku Anda. Namun bila kita ingin memperbaiki cara-cara utama kita, maka kita perlu mengubah kerangka acuan kita. Ubahlah bagaimana Anda melihat dunia, bagaimana Anda berpikir tentang manusia, ubahlah paradigma Anda, skema pemahaman dan penjelasan aspek-aspek tertentu tentang realitas”.  

 

Stimulus-Respon lawan Teori Kontrol: Pandangan tentang Dunia

Stimulus-Respon tentang Dunia

Teori Kontrol tentang Dunia

Realitas (kebutuhan) kita sama.

Realitas (kebutuhan) kita berbeda.

Semua orang melihat hal yang sama.

Setiap orang memiliki gambaran berbeda.

Kita mencoba mengubah orang agar berpandangan sama dengan kita.

Kita berusaha memahami pandangan orang lain tentang dunia.

Perilaku buruk dilihat sebagai suatu kesalahan

Semua perilaku memiliki tujuan.

Orang lain bisa mengontrol saya.

Hanya Anda yang bisa mengontrol diri Anda.

Saya bisa mengontrol orang lain.

Anda tidak bisa mengontrol orang lain.

Pemaksaan ada pada saat bujukan gagal.

Kolaborasi dan konsensus menciptakan pilihan-pilihan baru.

Model Berpikir Menang/Kalah

Model Berpikir Menang-menang.

 

 

2.2: Konsep Disiplin Positif dan Motivasi  

 

Pertanyaan Pemantik:

Bagaimana cara membuat murid disiplin? Siapakah yang bisa mendisiplinkan murid? Apakah guru yang bisa mendisiplinkan murid? Atau Kepala Sekolah? Atau orangtua murid? Atau murid itu sendiri?  Mengapa?

Kebanyakan guru, sangat tertarik dengan topik pembahasan tentang disiplin. Mereka berpendapat bahwa kalau saja anak-anak bisa disiplin, pasti mereka akan bisa belajar. Para guru juga berpendapat bahwa mendisiplinkan anak-anak adalah bagian yang paling menantang dari pekerjaan mereka.

Marilah kita baca artikel di bawah ini:

Makna Kata Disiplin

Ketika mendengar kata “disiplin”, apa yang terbayang di benak Anda? Apa yang terlintas di pikiran Anda? Kebanyakan orang akan menghubungkan kata disiplin dengan tata tertib, teratur, dan kepatuhan pada peraturan.  Kata “disiplin” juga sering dihubungkan dengan hukuman, padahal itu sungguh berbeda, karena belajar tentang disiplin positif tidak harus dengan memberi hukuman, justru itu adalah salah satu alternatif terakhir dan kalau perlu tidak digunakan sama sekali.  

 

Dalam budaya kita, makna kata ‘disiplin’ dimaknai menjadi sesuatu yang dilakukan seseorang pada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan. Kita cenderung menghubungkan kata ‘disiplin’ dengan ketidaknyamanan.

Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa  

“dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat ”self discipline” yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka.  

(Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka,  Cetakan Kelima, 2013, Halaman 470)

Ki Hajar menyatakan bahwa untuk mencapai kemerdekaan atau  dalam konteks pendidikan kita saat ini, untuk menciptakan murid yang merdeka, syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang kuat. Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri, yang memiliki motivasi internal. Jika kita tidak memiliki motivasi internal, maka kita memerlukan pihak lain untuk mendisiplinkan kita atau motivasi eksternal, karena berasal dari luar, bukan dari dalam diri kita sendiri.

Adapun definisi kata ‘merdeka’ menurut Ki Hajar adalah:  

mardika iku jarwanya, nora mung lepasing pangreh, nging uga kuwat kuwasa amandiri priyangga (merdeka itu artinya; tidak hanya terlepas dari perintah; akan tetapi  juga cakap buat memerintah diri sendiri)

Pemikiran Ki Hajar ini sejalan dengan pandangan Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, 2001. Diane menyatakan bahwa arti dari kata disiplin berasal dari bahasa Latin, ‘disciplina’, yang artinya ‘belajar’. Kata ‘discipline’ juga berasal dari akar kata yang sama dengan ‘discipleatau murid/pengikut. Untuk menjadi seorang murid, atau pengikut, seseorang harus paham betul alasan mengapa mereka mengikuti suatu aliran atau ajaran tertentu, sehingga motivasi yang terbangun adalah motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.  

Diane juga menyatakan bahwa arti asli dari kata disiplin ini juga berkonotasi dengan disiplin diri dari murid-murid Socrates dan Plato. Disiplin diri dapat membuat seseorang menggali potensinya  menuju kepada sebuah tujuan, sesuatu yang dihargai dan bermakna.  Dengan kata lain, disiplin diri juga mempelajari bagaimana cara kita mengontrol diri, dan  bagaimana menguasai diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai.   

 

Dengan kata lain, seseorang yang memiliki disiplin diri berarti mereka bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal. Dalam hal ini Ki Hajar menyatakan;  

“...pertanggungjawaban atau verantwoordelijkheld itulah selalu menjadi sisihannya hak atau kewajiban dari seseorang yang pegang kekuasaan atau pimpinan dalam umumnya. Adapun artinya tidak lain ialah orang tadi harus mempertanggungjawabkan dirinya serta tertibnya laku diri dari segala hak dan kewajibannya.  

(Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap

Merdeka,  Cetakan Kelima, 2013, Halaman 469)

 

Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan anak-anak yang memiliki disiplin diri sehingga mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.  

 

Referensi:  

Restitution: Restructuring School Discipline, Diane Chelsom Gossen, 2001, New View Publications, North Canada

Ki Hajar Dewantara;Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka,2013,

UST-Press bekerjasama dengan Majelis Luhur Tamansiswa

 

Indah sekali bukan pemikiran-pemikiran tentang konsep disiplin di atas. Mari kita bayangkan alangkah indahnya ketika tercipta masyarakat yang bisa saling belajar, yang saling merasa terikat dan terhubungkan satu sama lain; karena masyarakat seperti itu akan mengambil tanggung jawab untuk pembelajarannya, senantiasa selalu berusaha untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya.  Itulah tujuan dari disiplin diri.

Mari kita tanyakan ke diri kita sendiri, bagaimana kita berperilaku? Mengapa kita melakukan segala sesuatu? Apakah kita melakukan sesuatu karena adanya dorongan dari lingkungan, atau ada dorongan yang lain?  Terkadang kita melakukan sesuatu karena kita menghindari rasa sakit atau ketidaknyamanan, Terkadang kita juga melakukan sesuatu untuk mendapatkan apa yang kita mau.  

 Bagaimana menurut Anda? Pernahkah Anda melakukan sesuatu untuk mendapat senyuman dari orang lain? Untuk mendapat hadiah? Atau untuk mendapatkan uang? Apa lagi kira-kira alasan orang melakukan sesuatu? Untuk mengetahui lebih jauh lagi mengenai motivasi manusia,  mari kita baca artikel ini:

 

3 Motivasi Perilaku Manusia

 

Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, menyatakan ada 3 alasan motivasi perilaku manusia:

 

1.       Untuk  menghindari  ketidaknyamanan atau hukuman

Ini adalah tingkat terendah dari motivasi perilaku manusia. Biasanya orang yang motivasi perilakunya untuk menghindari hukuman atau ketidaknyamanan, akan bertanya, apa yang akan terjadi apabila saya tidak melakukannya? Sebenarnya mereka sedang menghindari permasalahan yang mungkin muncul dan berpengaruh pada mereka secara fisik, psikologis, maupun tidak terpenuhinya kebutuhan mereka, bila mereka tidak melakukan tindakan tersebut.  

 

2.       Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain.  Satu tingkat di atas motivasi yang pertama, disini orang berperilaku untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Orang dengan motivasi ini akan bertanya, apa yang akan saya dapatkan apabila saya melakukannya? Mereka melakukan sebuah tindakan untuk mendapatkan pujian dari orang lain yang menurut mereka penting dan mereka letakkan dalam dunia berkualitas mereka. Mereka juga melakukan sesuatu untuk mendapatkan hadiah, pengakuan, atau imbalan.  

 

3.       Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya

Orang dengan motivasi ini akan bertanya, akan menjadi orang yang seperti apa bila saya melakukannya?. Mereka melakukan sesuatu karena nilai-nilai yang mereka yakini dan hargai, dan mereka melakukannya karena mereka ingin menjadi orang yang melakukan nilai-nilai yang mereka yakini tersebut. Ini adalah motivasi yang akan membuat seseorang memiliki disiplin positif karena motivasi berperilakunya bersifat internal, bukan eksternal.  

 

Pernahkan Anda berada dalam sebuah situasi dimana anda sengaja melakukan sesuatu yang menyakitkan bagi anda, bahkan bertabrakan dengan penghargaan dari orang lain? Mengapa anda

tetap memilih melakukannya padahal anda tahu akibatnya akan menyakitkan, anda mungkin akan dikecam secara sosial, bahkan ada kerugian secara finansial? Apa prinsip-prinsip yang anda perjuangkan dan anda lindungi?  Saat itu, anda sedang menjadi

         orang yang seperti apa?  

Tujuan dari disiplin positif adalah menanamkan motivasi yang ketiga pada murid-murid kita yaitu untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Ketika murid-murid kita memiliki motivasi tersebut, mereka telah memiliki motivasi intrinsik yang berdampak jangka panjang, motivasi yang tidak akan terpengaruh pada adanya hukuman atau hadiah. Mereka akan tetap berperilaku baik dan berlandaskan nilai-nilai kebajikan karena mereka ingin menjadi orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang mereka hargai.  

 Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara kita sebagai guru untuk menanamkan disiplin positif yang positif ini kepada murid-murid kita?  

 

2.3: Keyakinan Kelas

Pertanyaan Pemantik:

        Mengapa Keyakinan Kelas, mengapa tidak peraturan kelas saja? 

        Mengapa adanya Keyakinan Kelas penting untuk terbentuknya sebuah budaya positif?

        Bagaimana mewujudkan sebuah Keyakinan Kelas yang efektif?

Setiap tindakan atau perilaku yang kita lakukan di dalam kelas dapat menentukan terciptanya sebuah lingkungan positif. Perilaku warga kelas tersebut menjadi sebuah kebiasaan, yang akhirnya membentuk sebuah budaya positif. Untuk terbentuknya budaya positif pertama-tama perlu diciptakan dan disepakati keyakinan-keyakinan atau prinsip-prinsip dasar bersama di antara para warga kelas. Hal ini berkaitan dengan modul 1.2 dan modul 1.3 yang membahas tentang nilai-nilai kebajikan dan visi sebuah sekolah yang perlu ada untuk menentukan arah tujuan dari sebuah institusi/sekolah. Penyatuan pemikiran untuk mendapatkan nilai-nilai kebajikan serta visi sekolah tersebut kemudian diturunkan di kelas-kelas menjadi keyakinan kelas yang disepakati bersama.

 Mengapa keyakinan kelas, mengapa tidak peraturan kelas saja?  

Pertanyaan berikut adalah, “Mengapa kita memiliki peraturan tentang penggunaan helm pada saat mengendarai kendaraan roda dua/motor?” Kemungkinan jawaban Anda adalah untuk ‘keselamatan’. Pertanyaan berikut adalah, “Mengapa kita memiliki peraturan tentang penggunaan masker dan mencuci tangan setiap saat?” Mungkin jawaban Anda adalah “untuk kesehatan dan/atau keselamatan”.   

Nilai-nilai keselamatan atau kesehatan inilah yang kita sebut sebagai suatu ‘keyakinan’, yaitu nilai-nilai kebajikan atau prinsip-prinsip universal yang disepakati bersama secara universal, lepas dari latar belakang suku, negara, bahasa maupun agama. Menurut Gossen (1998), suatu keyakinan akan lebih memotivasi seseorang dari dalam, atau memotivasi secara intrinsik. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan. Murid-murid pun demikian, mereka perlu mendengarkan dan mendalami tentang suatu keyakinan, daripada hanya mendengarkan peraturan-peraturan yang mengatur mereka harus berlaku begini atau begitu.

 

Pembentukan Keyakinan Kelas:

        Keyakinan kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan, yang lebih rinci dan konkrit.

        Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal.

        Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif.

        Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas.

        Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan tersebut. 

        Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas lewat kegiatan curah pendapat.

        Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu.

 

2.4 : Pemenuhan Kebutuhan Dasar  

Mari kita melihat sebuah konsep 5 Kebutuhan Dasar Manusia menurut Dr. William Glasser dalam “Choice Theory”.  

 

 

5 Kebutuhan Dasar Manusia

 

Seluruh tindakan manusia memiliki tujuan tertentu. Semua yang kita lakukan adalah usaha terbaik kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, sebetulnya saat itu kita sedang memenuhi satu atau lebih dari satu kebutuhan dasar kita, yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), cinta dan kasih sayang (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan kekuasaan (power). Ketika seorang murid melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat satu persatu kelima kebutuhan dasar ini.   

 

 

Kebutuhan bertahan hidup (survival)

 

Kebutuhan bertahan hidup (survival) adalah kebutuhan yang bersifat fisiologis untuk bertahan hidup misalnya kesehatan, rumah, dan makanan. Seks sebagai bagian dari proses reproduksi termasuk kebutuhan untuk tetap bertahan hidup. Komponen psikologis pada kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan perasaan aman. Dalam kasus Doni di atas, apabila jawaban Doni ketika ditanya oleh Ibu Ambar adalah karena ia lapar dan orangtuanya tidak membawakannya bekal makan siang, maka kebutuhan dasar yang sedang berusaha dipenuhi oleh Doni, adalah kebutuhan untuk bertahan hidup (survival).  

 

Cinta dan kasih sayang (Kebutuhan untuk Diterima)

Kebutuhan ini dan tiga kebutuhan berikutnya adalah kebutuhan psikologis. Kebutuhan untuk mencintai dan memiliki meliputi kebutuhan akan hubungan dan koneksi sosial, kebutuhan untuk memberi dan menerima kasih sayang dan kebutuhan untuk merasa menjadi bagian dari suatu kelompok. Kebutuhan ini juga meliputi keinginan untuk tetap terhubung dengan orang lain, seperti teman, keluarga, pasangan hidup, teman kerja, binatang peliharaan, dan kelompok dimana kita tergabung.

 

Anak-anak yang memiliki kebutuhan dasar cinta dan kasih sayang yang tinggi biasanya ingin disukai dan diterima oleh lingkungannya. Mereka juga akrab dengan orang tuanya. Biasanya mereka belajar karena suka pada gurunya. Bagi mereka, teman sebaya sangatlah penting. Mereka juga biasanya suka bekerja dalam kelompok.  

Dalam kasus diatas, apabila Doni menjawab bahwa alasannya mengambil bekal temannya karena dia merasa senang temannya jadi memperhatikan dia. Ketika temannya melaporkan tindakannya itu pada gurunya, dan gurunya memberitahu orang tuanya, sehingga orang tuanya jadi memperhatikan dia, maka kebutuhan dasar yang sedang dipenuhi Doni adalah kebutuhan akan cinta dan kasih sayang.

 

Penguasaan (Kebutuhan Pengakuan atas Kemampuan)

Kebutuhan ini berhubungan dengan kekuatan untuk mencapai sesuatu, menjadi kompeten, menjadi terampil, diakui atas prestasi dan keterampilan kita, didengarkan dan memiliki rasa harga diri. Kebutuhan ini meliputi keinginan untuk dianggap berharga, bisa membuat perbedaan, bisa membuat pencapaian, kompeten, diakui, dihormati. Ini meliputi self esteem, dan keinginan untuk meninggalkan pengaruh.

Anak-anak yang memiliki kebutuhan dasar akan kekuasaan yang tinggi biasanya selalu ingin menjadi pemimpin, mereka juga suka mengamati sebelum mencoba hal baru dan merasa kecewa bila melakukan kesalahan. Mereka juga biasanya rapi dan sistematik dan selalu Ingin mencapai yang terbaik

Dalam kasus diatas, apabila jawaban Doni adalah dia merasa hebat karena temannya jadi takut dengan dia dan menuruti keinginannya, maka sebetulnya Doni sedang berusaha memenuhi kebutuhan dasarnya akan kekuasaan. 

 

Kebebasan (Kebutuhan Akan Pilihan)

Kebutuhan untuk bebas adalah kebutuhan akan kemandirian, otonomi, memiliki pilihan dan mampu mengendalikan arah hidup seseorang. Anakanak dengan kebutuhan kebebasan yang tinggi menginginkan pilihan, mereka perlu banyak bergerak, suka mencoba-coba, tidak terlalu terpengaruh orang lain dan senang mencoba hal baru dan menarik.

Bila jawaban Doni dalam kasus diatas adalah bahwa dia merasa bosan dengan bekal makanan yang dibawakan ibunya dari rumah, karena ibunya selalu membawakan bekal yang sama, oleh karena itu dia ingin mencoba makanan teman-temannya yang beraneka ragam, maka Doni sedang berusaha memenuhi kebutuhannya akan kebebasan/freedom.  

 

Kesenangan (Kebutuhan untuk merasa senang)

Kebutuhan akan kesenangan adalah kebutuhan untuk mencari kesenangan, bermain, dan tertawa. Bayangkan hidup tanpa kenikmatan apa pun, betapa menyedihkan. Glasser menghubungkan kebutuhan akan kesenangan dengan belajar. Semua hewan dengan tingkat intelegensi tinggi (anjing, lumba-lumba, primata, dll) bermain. Saat mereka bermain, mereka mempelajari keterampilan hidup yang penting. Manusia tidak berbeda.  Anak-anak dengan kebutuhan dasar kesenangan yang tinggi biasanya Ingin menikmati apa yang dilakukan. Mereka juga konsentrasi tinggi saat mengerjakan hal yang disenangi. Mereka suka permainan dan suka mengoleksi barang, suka bergurau, suka melucu dan juga menggemaskan, bahkan saat bertingkah laku buruk.

Dalam kasus diatas, bila Doni menjawab bahwa ia melakukannya karena iseng saja dan ia menikmati ekspresi wajah teman-temannya yang kesal karena diambil makanannya dan menurut dia, ekspresi teman-temannya itu lucu. Maka berarti Doni sedang berusaha memenuhi kebutuhannya akan kesenangan.

 

Disarikan dari berbagai sumber

 

Semua orang senantiasa berusaha untuk memenuhi kebutuhannya dengan berbagai cara. Bila mereka tidak bisa mendapatkan kebutuhannya dengan cara yang positif, mereka akan mencoba mendapatkannya dengan cara yang negatif.  Seorang murid yang tidak begitu berhasil secara akademik mungkin kebutuhannya akan kekuasaan tidak terpenuhi di sekolah. Oleh karena itu, mungkin dia akan mencoba untuk memenuhi kebutuhan kekuasaannya, dengan mencoba mengatur orang lain di lapangan bermain, atau bahkan menyakiti mereka secara fisik.  Sebagai guru, kita dapat melibatkannya dalam kegiatan yang memberi peluang murid tersebut membuat pencapaian yang berarti.  

 

Seorang yang tidak merasa diterima oleh teman-temannya, kebutuhannya akan cinta dan kasih sayang tidak terpenuhi, oleh karena itu dia mungkin akan memiliki satu teman dan memisahkan diri yang lain. Sebagai guru, kita bisa membangun hubungan yang bisa membangun kepercayaan dan keintiman dengan anak ini.

                                                             

Bagaimana Bapak Ibu, apakah sekarang sudah paham perbedaan dari kelima kebutuhan dasar?  Glasser menyatakan bahwa kapasitas untuk berubah ada di dalam diri kita. Jika kita dapat mengidentifikasi kebutuhan apa yang mendorong perilaku kita, maka perubahan perilaku positif dapat dimulai dengan mencari solusi untuk memenuhi kebutuhan tertentu dengan cara yang positif daripada cara yang negatif.

 

Setelah belajar tentang 3 Motivasi Perilaku Manusia dan 5 Kebutuhan Dasar Manusia untuk memahami alasan-alasan yang mendasari tindakan manusia, mari kita belajar 1 konsep lagi yaitu tentang Dunia Berkualitas dengan membaca deskripsi di bawah ini:  

 

                                              Dunia Berkualitas

 

Dunia Berkualitas Anda adalah tempat khusus dalam pikiran Anda, tempat Anda menyimpan gambaran representasi dari semua yang Anda inginkan: bisa berisi orang-orang, hal-hal dan apa saja yang terbaik dalam hidup Anda dan membuat Anda merasa bahagia dan terpenuhi kebutuhan dasar Anda. Dr. William Glasser menyebutnya seperti semacam, album foto sehingga isinya tidak akan terlalu banyak, hanya akan terdiri dari beberapa hal saja yang sangat signifikan dan benarbenar terbaik dalam hidup Anda yang membuat hidup Anda menjadi lebih bermakna. Kebutuhan dasar itu bersifat lebih umum dan universal, sedangkan dunia berkualitas lebih unik dan personal.  

 

Orang, tempat, benda, nilai-nilai, dan kepercayaan yang penting bagi Anda akan termasuk di sana. Untuk masuk ke Dunia Kualitas, syaratnya adalah bahwa sesuatu itu harus terasa sangat baik bagi Anda dan memenuhi setidaknya satu atau lebih kebutuhan dasar Anda. Dalam menentukan segala sesuatu yang masuk dalam dunia berkualitas, tidak perlu kita terlalu mempertimbangkan standar masyarakat tentang apa saja yang penting dan yang tidak. Gambaran Dunia Berkualitas adalah unik dan spesifik untuk setiap orang. Jika Anda bisa hidup di Dunia Kualitas Anda, hidup akan sempurna buat Anda, tapi sayangnya, Anda tidak bisa tinggal di sana.

 

Murid kita juga mempunyai gambaran dunia berkualitas mereka. Tentunya sebagai guru kita ingin mereka memasukkan hal-hal yang bermakna dan nilai-nilai kebajikan yang hakiki ke dalam dunia berkualitas mereka. Bila guru dapat membangun interaksi yang memberdayakan dan memerdekakan murid, maka murid akan meletakkan dirinya sendiri sebagai individu yang positif dalam dunia berkualitas karena mereka menghargai nilai-nilai kebajikan.  

 

Disarikan dari Berbagai Sumber

 

 

 

 2.5:  Lima Posisi Kontrol

 

Berikut ini akan disampaikan suatu model disiplin yang berpusat pada murid, yang dikembangkan oleh Diane Gossen dengan pendekatan Restitusi, yang disebut dengan 5 Posisi Kontrol.

 Lima Posisi Kontrol:  

Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School Discipline (1998) mengemukakan bahwa guru perlu meninjau kembali penerapan disiplin di dalam ruang-ruang kelas kita selama ini. Apakah telah efektif, apakah berpusat memerdekakan dan memandirikan murid, bagaimana dan mengapa? Melalui serangkaian riset dan bersandar pada teori Kontrol Dr. William Glasser, Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut adalah Penghukum, Pembuat Orang Merasa Bersalah, Teman, Monitor (Pemantau) dan Manajer. Mari kita tinjau lebih dalam kelima posisi kontrol ini:

 

Penghukum: Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal. Orang-orang yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih dalam lagi. Guru-guru yang menerapkan posisi penghukum akan berkata: “Patuhi aturan saya, atau awas!”

“Kamu selalu saja salah!”

“Selalu, pasti selalu yang terakhir selesai”

Guru seperti ini senantiasa percaya hanya ada satu cara agar pembelajaran bisa berhasil, yaitu cara dia.  

 

Pembuat Orang Merasa Bersalah: pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lebih lembut. Pembuat orang merasa bersalah akan menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri. Kata-kata yang keluar dengan lembut akan seperti:

“Ibu sangat kecewa sekali dengan kamu”

“Berapa kali Bapak harus memberitahu kamu ya?”

“Gimana coba, kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat begini?”

Di posisi ini murid akan memiliki penilaian diri yang buruk tentang diri mereka, murid merasa tidak berharga, dan telah mengecewakan  orang-orang disayanginya.

 

Teman: Guru pada posisi ini tidak akan  menyakiti murid, namun akan tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada guru bisa negatif ataupun positif. Positif di sini berupa hubungan baik yang terjalin antara guru dan murid. Guru di posisi teman menggunakan hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi seseorang. Mereka akan berkata:

“Ayo bantulah, demi bapak ya?”

“Ayo ingat tidak bantuan Bapak selama ini?”

“Ya sudah kali ini tidak apa-apa. Nanti Ibu bantu bereskan”.

Hal negatif dari posisi teman adalah bila suatu saat guru tersebut tidak membantu maka murid akan kecewa dan berkata, “Saya pikir bapak/Ibu teman saya”. Murid merasa dikecewakan, dan tidak mau lagi berusaha, Hal lain yang mungkin timbul adalah murid hanya akan bertindak untuk guru tertentu, dan tidak untuk guru lainnya. Murid akan tergantung pada guru tersebut.  

 

Monitor/Pemantau: Memonitor berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita bertanggung jawab atas perilaku orang-orang yang kita awasi. Posisi pemantau berdasarkan pada peraturan-peraturan dan konsekuensi. Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi, kita dapat memisahkan hubungan pribadi kita dengan murid, sebagai seseorang yang menjalankan posisi pemantau.

Pertanyaan yang diajukan seorang pemantau:

“Peraturannya apa?”

“Apa yang telah kamu lakukan?”

“Sanksi atau konsekuensinya apa?”

Seorang pemantau sangat mengandalkan penghitungan, catatan, data yang dapat digunakan sebagai bukti atas perilaku seseorang. Posisi ini akan menggunakan stiker, slip catatan, daftar cek. Posisi monitor sendiri berawal dari teori stimulus-respon, yang menunjukkan tanggung jawab guru dalam mengontrol murid.

 

Manajer: Posisi terakhir, Manajer, adalah posisi mentor di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer telah memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau, dan dengan demikian, bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua  posisi tersebut bila diperlukan. Namun bila kita menginginkan murid-murid kita menjadi manusia yang merdeka, mandiri dan bertanggung jawab, maka kita perlu mengacu kepada Restitusi yang dapat menjadikan murid kita seorang manajer bagi dirinya sendiri.  Di manajer, murid diajak untuk menganalisis kebutuhan dirinya, maupun kebutuhan orang lain. Disini penekanan bukan pada kemampuan membuat konsekuensi, namun dapat berkolaborasi dengan murid bagaimana memperbaiki kesalahan yang ada. Seorang manajer akan berkata:

“Apa yang kita yakini?” (kembali ke keyakinan kelas)

“Apakah kamu meyakininya?”

“Jika kamu menyakininya, apakah kamu bersedia memperbaikinya?”

“Jika kamu memperbaiki ini, hal ini menunjukkan apa tentang dirimu?”

“Apa rencana kamu untuk memperbaiki hal ini?”

Tugas seorang manajer bukan untuk mengatur perilaku seseorang. Kita membimbing murid untuk dapat mengatur dirinya. Seorang manajer bukannya memisahkan murid dari kelompoknya, tapi mengembalikan murid tersebut ke kelompoknya dengan lebih baik dan kuat.  

 Bisa jadi dalam praktik penerapan disiplin sehari-hari, kita akan kembali ke posisi Teman atau Pemantau, karena murid yang ditangani belum siap diajak berdiskusi atau diundang melakukan restitusi. Namun perlu disadari tujuan akhir dari 5 posisi kontrol seorang guru adalah pencapaian posisi Manajer, di mana di posisi inilah murid dapat menjadi pribadi yang mandiri, merdeka, dan bertanggung jawab atas segala perilaku dan sikapnya, yang pada akhirnya dapat menciptakan lingkungan yang positif, nyaman, dan aman.

 

Di bawah ini adalah contoh peragaan yang dikutip dari Yayasan Pendidikan Luhur (2007) di mana ada seorang murid yang melanggar suatu peraturan sekolah. Selanjutnya ada dialog antara seorang guru dengan murid tersebut, serta bagaimana guru tersebut menjalankan disiplin dengan menggunakan kelima posisi kontrol untuk kasus yang sama:  

 

Adi yang terlambat hadir di sekolah.  

Penghukum (Nada suara tinggi, bahasa tubuh: mata melotot, dan jari menunjuk-nunjuk menghardik):

“Terlambat lagi, pasti terlambat lagi, selalu datang terlambat, kapan bisa datang tepat waktu?”  

Tanyakan kepada diri Anda:

Bagaimana perasaan murid bila guru berbicara seperti itu pada saat muridnya datang terlambat?   

Akibat:

Kemungkinan murid marah dan mendendam atau bersifat agresif. Bisa jadi sesudah kembali duduk, murid tersebut akan mencoret-coret bukunya atau meja tulisnya. Lebih buruk lagi, sepulang sekolah, murid melihat motor atau mobil bapak/ibu guru dan akan menggores kendaraan tersebut dengan paku.

 

Pembuat orang lain merasa bersalah (Nada suara memelas/halus/sedih, bahasa tubuh:

merapat pada anak, lesu):

“Adi, kamu ini bagaimana ya? Kamu sudah berjanji dengan ibu tidak akan terlambat lagi. Kamu kenapa ya senang sekali  mengecewakan Ibu. Ibu benar-benar kecewa sekali.”  Bagaimana perasaan murid bila ditegur seperti cara ini?

Akibat:

Murid akan merasa bersalah. Bersalah telah mengecewakan ibu atau bapak gurunya. Murid akan merasa menjadi orang yang gagal dan tidak sanggup membahagiakan orang lain. Kadangkala sikap seperti ini lebih berbahaya dari sikap penghukum, karena emosi akan tertanam rapat di dalam, murid menahan perasaan. Tidak seperti murid dalam dengan guru penghukum, di mana murid bisa menumpahkan amarahnya walaupun dengan cara negatif. Murid tertekan seperti inilah yang tiba-tiba bisa meletus amarahnya, dan bisa menyakiti diri sendiri atau orang lain.

 

Teman (nada suara: ramah, akrab, dan bercanda, bahasa tubuh: merapat pada murid, mata dan senyum jenaka)

“Adi, ayolah, bagaimana sih kamu. Kemarin kamu sudah janji ke bapak bukan, kenapa terlambat lagi? (sambil tertawa ringan). Ya, sudah tidak apa-apa, duduk dulu sana. Nanti Pak Guru bantu. Kamu ini.” (sambil senyum-senyum).  

Bagaimana perasaan murid dengan sikap guru seperti ini? Akibat:  

Murid akan merasa senang dan akrab dengan guru. Ini termasuk dampak yang positif, hanya saja di sisi negatif murid menjadi tergantung pada guru tersebut. Bila ada masalah, dia merasa bisa mengandalkan guru tersebut untuk membantunya. Akibat lain dari posisi teman, Adi hanya akan berbuat sesuatu bila yang menyuruh adalah guru tersebut, dan belum tentu berlaku yang sama dengan guru atau orang lain.

 

Pemantau (nada suara datar, bahasa tubuh yang formal): Guru: “Adi, tahukah kamu jam berapa kita memulai?”  

Adi:  “Tahu Pak!”  

Guru: “Kamu terlambat 15 menit, apakah kamu sudah mengerti apa yang harus dilakukan bila terlambat?”  

Adi:  “Paham Pak, saya harus tinggal kelas pada jam istirahat nanti dan mengerjakan tugas ketertinggalan saya.”  

Guru: “Ya, benar, nanti pada saat jam istirahat kamu harus sudah  di kelas untuk menyelesaikan tugas yang tertinggal tadi. Saya tunggu”  Bagaimana perasaan murid diperlakukan seperti ini?

Akibat:  

Murid memahami sanksi yang harus dijalankan karena telah melanggar salah satu peraturan sekolah. Guru tidak menunjukkan suatu emosi yang berlebihan, menjadi marah atau membuat merasa berbuat salah.  Murid tetap dibuat tidak nyaman yaitu dengan harus tinggal kelas pada waktu jam istirahat dan mengerjakan tugas. Guru tetap harus memonitor atau memantau murid pada saat mengerjakan tugas di jam istirahat karena murid tidak bisa ditinggal seorang diri.

 

Manajer (nada suara tulus, bahasa tubuh tidak kaku, mendekat ke murid):

Guru: “Adi, apakah kamu mengetahui jam berapa sekolah dimulai?”  

Adi:  “Tahu Pak, jam 7:00!”  

Guru: “Ya, jadi kamu terlambat, kira-kira bagaimana kamu akan memperbaiki masalah ini?”

Adi:  “Saya bisa menanyakan teman saya Pak, untuk mengejar tugas yang tertinggal.”  Guru:  “Baik, itu bisa dilakukan. Apakah besok akan ada masalah untuk kamu agar bisa hadir tepat waktu ke sekolah?”  

Adi:   “Tidak Pak, saya bisa hadir tepat waktu.”  

Guru:   “Baik. Saya hargai usahamu untuk memperbaiki diri” Bagaimana perasaan murid diperlakukan seperti ini?

 

Pada posisi Manajer maka suara guru sebaiknya tulus. Tidak perlu marah, tidak perlu meninggikan suara, apalagi menunjuk-nunjuk jari ke murid, berkacak pinggang, atau bersikap seolah-olah menyesal, tampak sedih sekali akan perbuatan murid ataupun bersenda gurau menempatkan diri sebagai teman murid.

Fokus adalah pada murid, bukan untuk membahagiakan guru atau orang tua. Murid sudah mengetahui adanya suatu masalah, dan sesuatu perlu terjadi. Bila guru mengambil posisi Pemantau, guru akan melihat apa sanksinya apa peraturannya? Namun pada posisi Manajer, guru akan mengembalikan tanggung jawab pada murid untuk mencari jalan keluar permasalahannya, tentu dengan bimbingan guru.  

 

5 POSISI KONTROL RESTITUSI

 

Motivasi

MOTIVASI EKSTERNAL

MOTIVASI INTRINSIK

IDENTITAS GAGAL

IDENTITAS BERHASIL/SUKSES

PERILAKU KONTROL NEGATIF

PERILAKU KONTROL POSITIF

KONTROL DIRI

  

PENGHUKUM

PEMBUAT

ORANG MERASA BERSALAH

TEMAN

PEMANTAU

MANAJER

Guru

Berbuat:

Menghardik Menunjuk- nunjuk Menyakiti

Menyindir

Berceramah Menunjukkan kekecewaan  mendalam

Membuatkan

alasan-alasan

untuk               muridmuridnya.

Menghitung dan mengukur

Mengajukan pertanyaan-  pertanyaan

Guru

Berkata:

“Kalau kamu tidak melakukannya, saya akan…”

“Kamu   sudah mengecewakan

Ibu/Bapak”

“Lakukan untuk Bapak/Ibu”

“Ya sudah nanti Bapak/Ibu bantu bereskan”

“Apa peraturannya?”

“Apa konsekuensinya/sanksinya?” “Apa      yang       telah               kamu lakukan?”

“Apa yang terjadi sekarang?”

Apa yang kita yakini? Apa kamu meyakini hal tersebut?”

“Kalau kamu meyakininya, kamukah kamu memperbaikinya?” “Kalau kami memperbaikinya,

jadi kira-kira hal tersebut akan

menggambarkan apa tentang dirimu?”  

Hasilnya:

Memberontak Pendendam

Menyalahkan

orang lain

Menyembunyi- kan

Menyangkal

Berbohong

Ketergantungan

Menyesuaikan bila diawasi.

Menguatkan watak/karakter

Murid

Berkata:

“Saya tidak

peduli”

  

“Maafkan saya”.

“Saya pikir Bapak/Ibu  teman saya”

Saya akan dapat berapa bintang kalau melakukan hal tersebut?”

“Jika sudah melakukan hal tersebut, saya akan mendapatkan apa?”

Bagaimana caranya agar saya bisa memperbaiki keadaan ini?” “Saya akan memperbaiki masalah ini dengan…”

Dampak pada

Murid:

Mengulangi kesalahan berulang kali.

Perilaku menjadi agresif

Rendah diri Merasa gagal dan tidak berharga

Tergantung Tidak mandiri dan tidak bisa memutuskan

Menitikberatkan pada dampak pada diri sendiri, mendapatkan hadiah atau mendapatkan hukuman.

Mengevaluasi diri Bagaimana menjadi diri yang lebih baik

Motivasi

MOTIVASI EKSTERNAL

MOTIVASI INTRINSIK

IDENTITAS GAGAL

IDENTITAS BERHASIL/SUKSES

PERILAKU KONTROL NEGATIF

PERILAKU KONTROL POSITIF

KONTROL DIRI

  

PENGHUKUM

PEMBUAT

ORANG MERASA BERSALAH

TEMAN

PEMANTAU

MANAJER

Kaitan dengan Dunia

Berkualitas

Murid meletakkan guru               di               luar

Dunia

Berkualitas.

Murid meletakkan guru di dalam

Dunia

Berkualitas.

Murid meletakkan guru sebagai orang penting dalam Dunia Berkualitas.

Murid meletakkan guru, peraturan di Dunia Berkualitas.

Murid meletakkan dirinya sebagai individu yang positif dalam

Dunia Berkualitas.

 

 

2.6 - Segitiga Restitusi

Apa yang akan Anda lakukan bila,  

        Dalam sebuah acara pesta ulang tahun, teman Anda memecahkan gelas. Apakah Anda akan membiarkan dia membayar harga gelas yang dipecahkannya?

        Anda sudah janji bertemu dengan teman Anda, namun ternyata dia juga memiliki janji penting bertemu orang lain di tempat lain, dan Anda terpaksa naik taksi untuk menemui teman Anda di tempat itu, apakah Anda akan meminta teman Anda membayar biaya taksi Anda menuju ke tempat tersebut?

        Pegawai Anda membuat kesalahan yang menyebabkan kerugian finansial pada perusahaan, pegawai tersebut menawarkan untuk bekerja lembur tanpa bayaran, apakah Anda sebagai pemilik perusahaan akan menerimanya?

 

Bila ada seseorang berbuat salah pada Anda, ketika mereka menawarkan sebuah tindakan untuk memperbaiki kesalahan mereka,  kemungkinan besar, jawaban Anda adalah akan menolak semua tawaran itu, dan akan bilang, tidak usah, tidak apa-apa. Lupakan saja.  

 Kebiasaan kita selama ini, bila ada orang yang berlaku salah pada kita adalah langsung memaafkan, atau membuat mereka tidak nyaman. Kita cenderung untuk berfokus pada kesalahan daripada mencari cara bagi mereka untuk memperbaiki diri. Kita lebih fokus pada bagaimana cara mereka membayar ketidaknyamanan yang disebabkan oleh kesalahan mereka daripada mengembalikan harga diri mereka. Membuat kondisi menjadi impas, menjadi lebih penting daripada membuat situasi menjadi benar.  

 

Sebagai seorang guru, ketika murid Anda melakukan kesalahan, tindakan mana yang akan Anda lakukan?

        Anda menunjukkan kesalahannya dan memintanya melihat kesalahannya baik-baik?

        Anda mengatakan, “Kamu seharusnya tahu bagaimana kamu seharusnya bertindak”.

        Anda mengingatkan murid Anda akan kesalahannya yang sama di waktu sebelumnya.

        Anda akan bertanya padanya, “Kenapa kamu melakukan sesuatu yang seharusnya tidak kamu lakukan?”.

        Anda akan mengkritik dia dan mendiamkannya?

 

Kalau Anda melakukan tindakan-tindakan di atas, mungkin Anda akan membuat murid Anda merasa menjadi anak yang gagal.

 

Pertanyaannya sekarang, bagaimana kita sebaiknya respon kita bila ada murid kita melakukan kesalahan? Mari kita baca artikel ini:

Restitusi

Sebuah Cara Menanamkan disiplin positif Pada Murid  

Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004)  

Restitusi juga adalah proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996).  

Restitusi membantu murid menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, dan memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai.  Sebelumnya kita telah belajar tentang teori kontrol bahwa pada dasarnya, kita memiliki motivasi intrinsik.   

Melalui restitusi, ketika murid berbuat salah, guru akan menanggapi dengan cara yang memungkinkan murid untuk membuat evaluasi internal tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka dan mendapatkan kembali harga dirinya. Restitusi menguntungkan korban,

tetapi juga menguntungkan orang yang telah berbuat salah. Ini sesuai dengan prinsip dari teori kontrol William Glasser tentang solusi menang-menang.

 Ada peluang luar biasa bagi murid untuk bertumbuh ketika mereka melakukan kesalahan, bukankah pada hakikatnya begitulah cara kita belajar.  Murid perlu bertanggung jawab atas perilaku yang mereka pilih, namun mereka juga dapat memilih untuk belajar dari pengalaman dan membuat pilihan yang lebih baik di waktu yang akan datang. Ketika guru memecahkan masalah perilaku mereka, murid akan kehilangan kesempatan untuk mempelajari keterampilan yang berharga untuk hidup mereka.  

 Di bawah ini adalah ciri-ciri restitusi yang membedakannya dengan program disiplin lainnya.

    Restitusi bukan untuk menebus kesalahan, namun untuk belajar dari kesalahan 

Dalam restitusi, ketika murid berbuat salah, guru tidak mengarahkan untuk menebus kesalahan dengan membayar sejumlah uang, memperbaiki kerugian yang timbul, atau sekedar meminta maaf. Karena kalau fokusnya kesana, maka murid yang berbuat salah akan fokus pada tindakan untuk menebus kesalahan dan menghindari ketidaknyamanan, yang bersifat eksternal,  bukannya pada upaya perbaikan diri, yang lebih bersifat internal. Biasanya setelah menebus kesalahan, orang yang berbuat salah akan merasa sudah selesai dengan situasi itu sehingga merasa lega, dan seolah-olah kesalahan tidak pernah terjadi.  

Terkadang bisa juga muncul perasaan ingin balas dendam, bila orang yang berbuat salah sebetulnya merasa tidak rela harus melakukan sesuatu untuk menebus kesalahannya. Kalau tindakan untuk menebus kesalahan dipahami sebagai hukuman, maka mungkin mereka berpikir untuk membuat situasinya menjadi impas.  Pembalasan seperti ini akan berdampak jangka panjang karena konfliknya akan tetap ada. Menebus kesalahan itu tidak salah, namun biasanya tidak membuat kita menjadi pribadi yang lebih kuat.  

 Restitusi sebenarnya juga meliputi usaha untuk menebus kesalahan, tetapi sebaiknya merupakan inisiatif dari murid yang melakukan kesalahan. Proses pemulihan akan terjadi bila ada keinginan dari murid yang berbuat salah untuk melakukan sesuatu yang menunjukkan rasa penyesalannya. Fokusnya tidak hanya pada mengurangi kerugian pada

 

 

korban, tapi juga bagaimana menjadi orang yang lebih baik dan melakukan hal baik pada orang lain dengan kebaikan yang ada dalam diri kita.  

Ketika murid belajar dari kesalahan untuk menjadi lebih baik untuk masa depan, mereka akan mendapatkan pelajaran yang mereka bisa pakai terus menerus di masa depan untuk menjadi orang yang lebih baik.

 

Restitusi memperbaiki hubungan

Restitusi adalah tentang memperbaiki hubungan dan memperkuatnya. Restitusi juga membantu murid-murid dalam hal mereka ingin menjadi orang seperti apa dan bagaimana mereka ingin diperlakukan. Restitusi adalah proses refleksi dan pemulihan. Proses ini menciptakan kondisi yang aman bagi murid untuk menjadi jujur pada diri mereka sendiri dan mengevaluasi dampak dari tindakan mereka pada orang lain. Ketika proses pemulihan dan evaluasi diri telah selesai, mereka bisa mulai berpikir tentang apa yang bisa dilakukan untuk menebus kesalahan mereka pada orang yang menjadi korban.  

 

Restitusi adalah tawaran, bukan paksaan

Restitusi yang dipaksa bukanlah restitusi yang sebenarnya, tapi konsekuensi. Bila guru memaksa proses restitusi, maka murid akan bertanya, apa yang akan terjadi kalau saya tidak melakukannya. Misalnya mereka sebenarnya tidak suka konsekuensi yang guru sarankan, mereka  mungkin akan setuju dan akan melakukannya, tapi karena mereka menghindari ketidaknyamanan atau menghindari kehilangan kebebasan atau diasingkan dari kelompok. Mereka akan percaya kalau mereka menyakiti orang, maka mereka juga tersakiti, maka mereka pikir itu impas. Seorang anak yang memukul temannya akan mengatakan, “Kamu boleh pukul aku balik, biar impas”. Memaksa melakukan restitusi bertentangan dengan perkembangan moral, yaitu kebebasan untuk membuat pilihan. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk       menciptakan    kondisi            yang             membuat         murid   bersedia menyelesaikan masalah dan berbuat lebih baik lagi, dengan berkata, “Tidak apa-apa kok berbuat salah itu manusiawi. Semua orang pasti pernah berbuat salah”. Pembicaraan ini bersifat tawaran, bukan paksaan, bukan mengatakan, “Kamu harus lakukan ini, kalau tidak maka…”

Restitusi menuntun untuk melihat ke dalam diri

 

Dalam proses restitusi kita akan melihat adanya ketidakselarasan antara tindakan murid yang berbuat salah dan keyakinan mereka tentang orang seperti apa yang mereka inginkan. Untuk membimbing proses pemulihan diri, guru bisa bertanya pada mereka:

        Kamu ingin menjadi orang seperti apa?

        Kamu akan terlihat, terdengar, dan terasa seperti apa kalau kamu sudah menjadi orang yang seperti itu?

        Apa yang kamu percaya tentang bagaimana orang harus memperlakukan orang lain?

        Bagaimana kamu mau diperlakukan ketika kamu berbuat salah?

        Apa nilai yang diajarkan di keluargamu tentang hal ini? Apakah kamu memegang nilai ini?

        Kalau tidak, lalu apa yang kamu percaya?

 Kita tidak ingin menciptakan rasa bersalah pada diri anak dengan bertanya seperti itu. Kalau guru melihat rasa bersalah di wajah murid, maka guru harus cepat-cepat mengatakan, “Tidak apa-apa kok berbuat salah”.

 Ketika murid sudah dibimbing untuk mengeksplorasi orang seperti apa yang mereka inginkan, guru bisa mulai bertanya tentang kejadiannya,  seberapa sering hal ini terjadi,  apa yang ia lakukan, ia berada di mana.  Murid tidak akan berbohong pada guru.

 Restitusi mencari kebutuhan dasar yang mendasari tindakan

Untuk berpindah dari evaluasi diri ke restitusi diri, penting bagi murid untuk memahami dampak dari tindakannya pada orang lain.  Kalau murid paham bahwa setiap orang memiliki kebutuhan dasar untuk dipenuhi, hal ini akan sangat membantu, sehingga ketika murid melakukan kesalahan, mereka akan menyadari kebutuhan apa yang sedang mereka coba penuhi, demikian juga kebutuhan orang lain.  

 Untuk membantu murid mengenali kebutuhan dasarnya, guru bisa meminta mereka mengenali perasaan mereka. Perasaan sedih dan kesepian menunjukkan adanya kebutuhan cinta dan kasih sayang yang tidak terpenuhi. Perasaan dipaksa, atau terlalu banyak beban, menunjukkan kurangnya kebutuhan akan kebebasan.  Perasaan takut akan kelelahan, kelaparan, menunjukkan pada kita kalau kita merasa tidak aman. Perasaan bosan menunjukkan kurang terpenuhinya kebutuhan akan  kesenangan.  

 Restitusi diri adalah cara yang paling baik  

Dalam restitusi diri murid belajar untuk mengubah kebiasaan dari kecenderungan untuk mengomentari orang lain,  menjadi mengomentari diri sendiri. Dr. William Glasser menyatakan, orang yang bahagia akan mengevaluasi diri sendiri, orang yang tidak bahagia akan mengevaluasi orang lain.  

 

 

3 Tahap Evaluasi Diri:

 

 

1.     Saya tidak suka cara saya berbicara padamu

2.     Kesalahan yang saya lakukan adalah  

        Saya sebenarnya punya informasi yang kamu butuhkan

        Saya lelah dan saya bicara terlalu cepat

        Saya tidak jelas menyampaikan apa yang saya inginkan

        Pemahaman saya berbeda dengan pemahamanmu

3.     Besok lagi saya akan 

        Menyampaikan informasi yang saya punya dan kamu butuhkan

        Saya akan bicara lebih lambat

        Saya akan bicara lebih jelas tentang keinginan saya

        Menyampaikan pemahaman saya padamu

Ketika murid bisa melakukan restitusi diri  maka dia akan bisa mengontrol dirinya dengan lebih baik dengan tujuan yang lebih baik pula.  

 

Ketika Anda berhadapan dengan orang lain, dan melakukan evaluasi diri, maka 9 dari 10 orang yang diajak bicara juga akan melakukan evaluasi diri juga. Mungkin akan ada 1 dari 10 orang yang diajak bicara, justru akan menggunakan kesempatan itu untuk menghukum Anda. Kalau ini terjadi, tanyakan saja, apakah Anda mau menggunakan kesempatan ini untuk menjelek-jelekkan saya atau Anda mau membuat situasi ini menjadi lebih baik.  Anda mau ke arah mana?

 

Restitusi fokus pada karakter bukan tindakan  

Dalam proses restitusi diri, maka murid akan menyadari dia sedang menjadi orang yang seperti apa, yang itu adalah menunjukkan fokus  pada penguatan karakter. Ketika guru membimbing murid untuk penguatan karakter, guru akan mengatakan, “Ibu/Bapak tidak terlalu mempermasalahkan apa yang kamu lakukan hari ini, tetapi mari kita bicara tentang apa yang akan kamu lakukan besok.  Kamu bisa saja minta maaf, tapi orang akan lebih suka mendengar apa yang akan kamu lakukan dengan lebih baik lagi.

 

Restitusi menguatkan

Bisakah momen ketika murid melakukan kesalahan menjadi sebuah momen yang baik? Jawabnya, tentu bisa, asalkan ia bisa belajar dari kesalahan itu. Apa maksud dari kalimat kita bisa lebih kuat setelah kita belajar dari kesalahan? Lebih kuat disini maksudnya bukan menekan perasaan kita dalam-dalam. Kuat disini artinya menyadari apa yang bisa murid ubah, dan murid benar-benar mengubahnya. Guru bisa bertanya, apa yang dapat kamu ubah dari dirimu sendiri? Bagaimana kamu akan berubah?

 

 

Restitusi fokus pada solusi

Dalam restitusi, guru menstabilkan identitas murid dengan mengatakan,  “Kita tidak fokus pada kesalahan, Bapak/ibu tidak tertarik untuk mencari siapa yang benar, siapa yang salah.

Restitusi mengembalikan murid yang berbuat salah pada kelompoknya  Mari kita lihat praktik pendidikan kita yang seringkali memisahkan anak-anak dari kelompoknya, misalnya seorang anak TK bersikap tidak kooperatif pada saat kegiatan mendengar dongeng dari gurunya, anak itu disuruh keluar dari kelompoknya, atau anak itu diminta duduk di belakang kelas atau di pojok kelas, disuruh keluar kelas ke koridor, ke kantor guru, seringkali dibiarkan tanpa pengawasan.   

Kalau ada anak remaja nakal, orangtua menyuruh pergi dari rumah. Padahal kalau mereka jauh dari orang tuanya, orang tuanya jadi tidak bisa mengajari mereka dan mereka tidak belajar nilai-nilai kebajikan. Kalau mereka tidak belajar, bagaimana nasib generasi kita ke depan? Kalau kita menjauhkan remaja kita, maka  mereka akan putus hubungan dengan kita.

Ketika anak berbuat salah, kita tidak bisa memotivasi anak untuk menjadi baik, kita hanya bisa menciptakan kondisi agar mereka bisa melihat ke dalam diri mereka. Kita seharusnya mengajari mereka untuk menyelesaikan masalah mereka, dan berusaha mengembalikan mereka ke kelompok mereka dengan karakter yang lebih kuat.  

 

Disarikan dari Buku It’s All About WE; Rethinking Discipline using Restitution, Third Edition, Diane Gossen, 2008

Setelah Anda mengetahui tentang apa itu restitusi, tentunya Anda ingin mengetahui bagaimana cara melakukanya.  Diane Gossen dalam  bukunya Restitution; Restructuring School Discipline, 2001 telah merancang sebuah tahapan untuk memudahkan para guru dan orangtua dalam melakukan proses untuk menyiapkan anaknya untuk melakukan restitusi, bernama segitiga restitusi/restitution triangle. Proses ini meliputi tiga tahap dan setiap tahapnya berdasarkan pada prinsip penting dari Teori Kontrol, yaitu

Langkah

Teori Kontrol

 1

Menstabilkan Identitas Stabilize the Identity

Kita semua akan melakukan hal terbaik yang bisa kita lakukan

2

Validasi Tindakan yang Salah

Validate the Misbehaviour      

Semua perilaku memiliki alasan          

3  

Menanyakan Keyakinan

Seek the Belief

Kita semua memiliki motivasi internal

 

Ketiga strategi tersebut direpresentasikan dalam 3 sisi segitiga restitusi. Langkah-langkah itu tidak harus dilakukan satu persatu. Banyak guru yang sudah menggunakannya dalam berbagai versi menurut gaya mereka masing-masing bahkan tanpa mengetahui tentang teori restitusi.

 

1.    Menstabilkan Identitas/Stabilize the identity

Bagian dasar dari segitiga bertujuan untuk mengubah identitas anak dari orang yang gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang yang sukses. Anak yang sedang mencari perhatian adalah anak yang sedang mengalami kegagalan. Dia mencoba untuk memenuhi kebutuhan dasarnya namun ada benturan. Kalau kita mengkritik dia, maka kita akan tetap membuatnya dalam posisi gagal. Kalau kita ingin ia menjadi proaktif, maka kita harus meyakinkan si anak, dengan cara mengatakan kalimat-kalimat ini:

            Berbuat salah itu tidak apa-apa.

        Tidak ada manusia yang sempurna

        Saya juga pernah melakukan kesalahan seperti itu.

        Kita bisa menyelesaikan ini.

        Bapak/Ibu tidak tertarik mencari siapa yang salah, tapi Bapak/Ibu ingin mencari solusi dari permasalahan ini.

        Kamu berhak merasa begitu.

        Apakah kamu sedang menjadi teman yang baik buat dirimu sendiri?

 

Kalau kita mengatakan kalimat-kalimat diatas, akan sangat sulit, bahkan hampir tidak mungkin, buat anak untuk tetap membangkang. Para guru yang bertugas mengawasi anak-anak saat mereka bermain di halaman sekolah, menyatakan bahwa bila mereka mengatakan kalimat tersebut yang mungkin hanya butuh 30 detik, bisa mengubah situasi yang sulit menjadi kooperatif.

 

Ketika seseorang merasa sedih dan emosional, mereka tidak bisa mengakses bagian otak yang berfungsi untuk berpikir rasional. Saat itulah ketika kita harus menstabilkan identitas anak. Sebelum terjadi hal-hal lain yang bisa memperburuk keadaan, kita sebaiknya membantu anak untuk tenang dan kembali ke suasana hati dimana proses belajar dan penyelesaian masalah bisa dilakukan.  

Tentu akan sulit melakukan restitusi bila, anak yang berbuat salah terus berfokus pada kesalahannya. Ada 3 alasan untuk ini, pertama rasa bersalah menguras energi. Rasa bersalah membutuhkan energi yang sama dengan energi yang dibutuhkan untuk mencari penyelesaian masalah.  Kedua, ketika kita merasa bersalah, kita mengalami identitas kegagalan. Dalam kondisi ini, orang akan cenderung untuk menyalahkan orang lain atau

mempertahankan diri, daripada mencari solusi. Ketiga, perasaan bersalah membuat kita terperangkap pada masa lalu dimana kita sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kita hanya bisa mengontrol apa yang akan terjadi di masa kini dan masa datang.  

 

Sisi 2: Validasi Tindakan yang Salah/ Validate the Misbehavior

Setiap tindakan kita dilakukan dengan suatu tujuan, yaitu memenuhi kebutuhan dasar. Kalau kita memahami kebutuhan dasar apa yang mendasari sebuah tindakan, kita akan bisa menemukan cara-cara paling efektif untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

 

Menurut Teori Kontrol semua tindakan manusia, baik atau buruk,  pasti memiliki maksud/tujuan tertentu. Seorang guru yang memahami teori kontrol pasti akan mengubah pandangannya dari teori stimulus response ke cara berpikir proaktif yang mengenali tujuan dari setiap tindakan. Kita mungkin tidak suka sikap seorang anak yang terus menerus merengek, tapi bila sikap itu mendapat perhatian kita, maka itu telah memenuhi kebutuhan anak tersebut. Kalimat-kalimat dibawah ini mungkin terdengar asing buat guru, namun bila dikatakan dengan nada tanpa menghakimi akan memvalidasi kebutuhan mereka.

        “Padahal kamu bisa melakukan yang lebih buruk dari ini ya?”

        “Kamu pasti punya alasan mengapa melakukan hal itu”

        “Kamu patut bangga pada dirimu sendiri karena kamu telah melindungi sesuatu yang penting buatmu”.

        “Kamu boleh mempertahankan sikap itu, tapi kamu harus menambahkan sikap yang baru.”

Biasanya guru menyuruh anak untuk menghentikan sikap yang tidak baik, tapi teori kontrol menyatakan bahwa resep itu tidak manjur. Mungkin tindakan guru dengan memvalidasi sikap yang tidak baik seperti bertentangan dengan aturan yang ada.  

 

Restitusi tidak menyarankan guru bicara ke murid bahwa melanggar aturan adalah sikap yang baik, tapi dalam restitusi guru harus memahami  alasannya, dan paham bahwa setiap orang pasti akan melakukan yang terbaik di waktu tertentu. Sebuah pelanggaran aturan seringkali memenuhi kebutuhan anak akan kekuasaan/power walaupun seringkali bertabrakan dengan kebutuhan yang lain, yaitu kebutuhan akan cinta dan kasih sayang/love and belonging. Kalau kita tolak anak yang sedang berbuat salah, dia akan tetap menjadi bagian dari masalah. namun bila kita memahami alasannya melakukan sesuatu, maka dia akan merasa dipahami.  

 

Para guru yang telah menerapkan strategi ini mengatakan bahwa anak-anak yang tadinya tidak terjangkau,  menjadi lebih terbuka pada mereka. Strategi ini menguntungkan bagi murid dan guru karena guru akan berada dalam posisi siswa, dan karena itu akan memiliki perspektif yang berbeda.

 

Sisi Ketiga: Menanyakan Keyakinan/Seek the Belief

Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara internal. Ketika identitas sukses telah tercapai (langkah 1) dan tingkah laku yang salah telah divalidasi (langkah 2), maka anak akan siap untuk dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan. Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini menghubungkan keyakinan anak dengan keyakinan kelas atau keluarga.

        Apa yang kita percaya sebagai kelas atau keluarga?

        Apa nilai-nilai umum yang kita telah sepakati?

        Apa bayangan kita tentang kelas yang ideal?

        Kamu mau jadi orang yang seperti apa?

 

Penting untuk menanyakan ke anak, kehidupan seperti apa nantinya yang mereka inginkan?

Apakah kamu ingin menjadi orang yang sukses, bertanggung jawab, atau bisa dipercaya?

Kebanyakkan anak akan mengatakan “Iya,” Tapi mereka tidak tahu bagaimana caranya menjadi orang seperti itu. Guru dapat membantu dengan bertanya, seperti apa jika mereka jd orang seperti itu. ketika anak sudah mendapat gambaran yang jelas tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, guru dapat membantu anak-anak tetap fokus pada gambaran tersebut.  

 


 https://docs.google.com/presentation/d/1XEgZ5evvMUWJ9b21fGv5nHbmHoDut8bb/edit?usp=sharing&ouid=109216891526274763359&rtpof=true&sd=true

 

Subscribe to our Newsletter

Contact our Support

Email us: youremail@gmail.com

Our Team Memebers